Kartini 4.0: Empowerment atau Eksploitasi?

Data dari SAFEnet (2024) menunjukkan lonjakan drastis Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Dalam triwulan pertama 2024 saja, tercatat 480 kasus KBGO, dengan mayoritas korban adalah perempuan muda usia 18–25 tahun. Banyak dari mereka adalah content creator yang kerap menerima DM ancaman, komentar seksual, bahkan ancaman penyebaran konten palsu berbasis deepfake. Jenis kekerasan yang dilaporkan mencakup penyebaran konten intim tanpa izin (73 kasus), pemerasan seksual (90 kasus), dan ancaman berbasis gambar atau video hasil manipulasi (deepfake). Modus ini banyak menyasar perempuan yang memiliki audiens besar dan ironisnya, justru mereka yang dianggap paling “berdaya” adalah yang paling rentan.

Perlindungan Masih Lemah, Literasi Masih Rendah

Meski Indonesia telah memiliki UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) No. 12 tahun 2022 yang secara khusus mengatur tentang pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual di Indonesia, namun perlindungan korban KBGO masih belum maksimal. Banyak korban merasa takut melapor, khawatir dicap “lebay” atau malah disalahkan karena penampilannya di media sosial.

BACA JUGA:  Untung Rugi STY Dipecat & Pelatih Baru Indonesia

Di sisi lain, literasi digital dan gender masih belum menjadi bagian kuat dari pendidikan formal maupun pelatihan komunitas kreator. Padahal, memahami bagaimana algoritma bekerja, bagaimana data personal dapat dimanipulasi, dan bagaimana mengelola komunitas yang aman adalah bagian integral dari pemberdayaan di era digital 4.0 bagi perempuan Indonesia.

Kartini 4.0: Kritis, Kreatif, dan Kolektif

Perempuan yang berprofesi sebagai content creator bukan hanya representasi Kartini masa kini, tetapi juga pewaris tantangan baru. Mereka bukan hanya pencipta konten, tetapi juga pencipta narasi tentang perempuan, suara, dan peran sosial. Kartini 4.0 adalah perempuan yang tidak sekadar ikut tren, tetapi kritis terhadap sistem yang membentuknya. Di balik kemudahan mengekspresikan diri di media sosial, perempuan menyadari bahwa platform digital tidak sepenuhnya netral. Mereka harus peka terhadap bagaimana perempuan diposisikan dalam ruang digital yang sering kali sebagai objek visual, bukan subjek yang berpikir. Contoh Awkarin, salah satu content creator terkenal di Indonesia, sempat menuai kontroversi karena gaya hidup glamor dan ekspresi bebasnya. Namun dalam beberapa tahun terakhir, ia mengubah citra dan mulai menggunakan platform-nya untuk isu-isu sosial: dari advokasi kesehatan mental, bantuan bencana alam, hingga membuka lowongan kerja untuk tim produksi yang ramah gender.Sikap ini mencerminkan bagaimana seorang content creator bisa mengubah cara berpikir publik, dari sekadar konsumsi visual menjadi refleksi kritis.