Oleh Aslam Katutu
NusantaraInsight, Makassar — Bayangkan suatu pagi di Gaza, ketika debu reruntuhan mulai mereda dan suara ledakan perlahan berganti dengan kicau burung yang kembali berani bernyanyi.
Di tengah situasi pasca-perang yang rapuh dan penuh luka, dunia mencari sosok yang bisa menenangkan, menata, dan menumbuhkan kembali harapan di tanah para syuhada itu.
Dalam bayangan banyak orang, nama yang muncul bukanlah politisi besar dari kekuatan dunia, bukan pula jenderal dengan pangkat tinggi, melainkan seorang tokoh yang dikenal karena ketulusannya dalam mendamaikan: Jusuf Kalla (JK).
Pemimpin yang Datang untuk Menyatukan
Pengamat hubungan internasional Prof. Hikmahanto Juwana mengusulkan agar Presiden Prabowo Subianto mendukung Jusuf Kalla (JK) menjadi pemimpin pemerintahan sementara di Gaza-Palestina.
Menurut Prof. Hikmahanto, Indonesia dapat berperan aktif dalam proses perdamaian Timur Tengah melalui figur JK yang dikenal berpengalaman sebagai mediator konflik dan tokoh perdamaian internasional.
“JK memiliki kredibilitas dan jaringan diplomatik yang kuat. Ia sosok yang tepat untuk memimpin pemerintahan sementara di Gaza,” ujar Hikmahanto dalam siaran langsung tersebut.
Usulan ini mencuat di tengah desakan global agar gencatan senjata segera diterapkan dan pemerintahan sipil sementara dibentuk untuk memulihkan situasi kemanusiaan di Jalur Gaza.
Mari kita membayangkan jika JK menjadi pemimpin pemerintahan sementara di Gaza, hal pertama yang akan ia lakukan bukanlah berpidato panjang atau menandatangani perjanjian politik.
Ia akan memulai dengan silaturahmi, mendatangi satu per satu pemimpin kelompok, ulama, pemuda, dan para ibu yang kehilangan anaknya. Ia akan berbicara bukan sebagai pejabat, tetapi sebagai saudara sesama Muslim yang peduli dan ingin membantu agar Gaza bisa bangkit.
JK bukan sosok asing dalam dunia mediasi konflik. Ia dikenal sebagai “the real peacemaker” yang berhasil memediasi perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2005, serta berperan dalam rekonsiliasi di berbagai daerah konflik seperti Poso, Maluku, dan Mindanao.
Ia memahami bahwa perdamaian tidak bisa dibangun hanya lewat meja perundingan, melainkan harus berakar pada rasa saling percaya, kesediaan untuk mendengar, dan keinginan tulus untuk hidup berdampingan.
Dengan pendekatan yang sama, JK akan mengubah Gaza yang hancur menjadi ruang dialog. Ia akan memulai dengan pertanyaan sederhana kepada semua pihak:
“Apa yang bisa kita lakukan bersama untuk anak-anak Gaza?” Pertanyaan itu akan meluluhkan banyak hati yang telah keras oleh kebencian dan penderitaan. Sebab, bagi JK, perdamaian selalu dimulai dari kepedulian yang paling manusiawi.