JANGAN MENJADI HAMBA RAMADHAN

Penulis jangan menjadi hamba ramadhan
Rahman Rumaday
Rahman Rumaday
(Founder K-Apel)

NusantaraInsight, Makassar — Selamat jalan ramadhan, hati berselimut rasa syukur begitu terasa hari ini hawa spiritual Ramadhan masih mengalir dalam diri, meskipun lambaian perpisahan bersama tahmid tasbih menggema di jagad bumi mengalun seperti harmoni yang merangkum rasa syukur kepada Sang Pencipta bahwa ramadhan telah mengantar hamba sampai di gerbang kemenangan yakni gerbang hari raya idul fitri.

Setiap langkah, setiap hela napas, disertai dengan rasa syukur yang mendalam di bawah langit penuh damai, hamba menundukkan kepala, mempersembahkan penghormatan kepada Allah. daun-daun ikut bergoyang begitu lembut, dan angin berbisik menyampaikan pesan kesucian. Semua itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah, yang menciptakan kedamaian di hati hamba.

Empat hari telah berlalu sejak Ramadhan meninggalkan kita semua bersama perayaan Idul Fitri. Artinya, bulan suci Ramadhan telah pergi, serta semangat yang mengiringinya, seakan ikut terbawa jauh.

Masih segar dalam ingatan saya, potongan kalimat dari khutbah Idul Fitri yang terucap dengan sangat jelas oleh sang khatib di tengah-tengah ribuan jama’ah yang hadir di poros jalan Daeng Tata 3, Kelurahan Parang Tambung. Jalan tersebut menjadi tempat pelaksanaan shalat Idul Fitri 1 Syawal 1445 H, bertepatan dengan hari Rabu, 10 April 2024 M. Jama’ah yang memadati jalan itu membentang hingga kurang lebih 1500 meter.

BACA JUGA:  Kepo (2): Nostalgia dengan Mappinawang

Suara khatib terdengar begitu tegas bagaimana tidak saya duduk di shaf ketiga dari imam persis didepan mimbar tempat khatib menyampaikan khutbah, “Jangan jadi hamba Ramadhan,” seru sang khatib. Ungkapan penggalan kalimat itu begitu membekas dalam kepala dan terbawa sampai hari ini. saya mencoba merenung dan memaknai penggalan kalimat dari sang khatib itu bahwa janganlah sampai kita terjebak dalam pola pikir menjadi “hamba Ramadhan.” yang hanya menjalankan ibadah yang disebut dengan kesalehan individu dan kesalehan sosial selama bulan suci ramadhan saja. Sebaliknya, mari kita jadikan semangat Ramadhan sebagai pendorong untuk meningkatkan kehidupan spritual dan sosial kita sepanjang tahun. semangat hablum minaallah dan hablum minannas terus terawat subur dalam setiap jiwa, terus menjadi hamba yang senantiasa ber-fastabiqul khairat.

Menjadi hamba dalam menjalankan kehidupan spritual bukan hanya tentang ibadah ritual, tetapi juga tentang menjalani nilai-nilai kebaikan dan kasih sayang dalam interaksi sehari-hari dengan sesama manusia tanpa sekat agama, suku dan bangsa. “Wahai manusia sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” ~ Al Hujurat : 13