Dahulu itu, kata Iwan Azis, kita masih agak buta-buta dalam sistem perbioskopan, kita seperti “ditololin” dalam tanda kutip oleh orang Jakarta. Menurutnya, yang ada pada diri kita ini hanya kebanggaan dan idealisme yang kita miliki.
Kopi susu di depan saya hanya bersisa ampasnya. Obrolan panjang membuat waktu bergerak tak terasa. Lamat-lamat terdengar suara azan. Waktu dhuhur sudah masuk. Sebelum mengakhiri percakapan hari ini dan berpamitan, Iwan Azis membuat satu kalimat, layaknya closing statement dalam acara-acara diskusi.
“Kita mau film-film dari Makassar juga maju dan semakin diterima oleh penonton,” pungkasnya. (*)