Ide Bukan Sekadar Omon-Omon

Ide-ide itu ada yang punya harga, diberi harga, dan dihargai. Biasanya, saya jual putus saja. Kontan.

Ada juga yang dipakai oleh seseorang, tetapi nama saya tidak disertakan atau tidak disebutkan. Bagi saya, tak soal. Hitung-hitung sedekah ide. Dari ide, berbuah amal kebaikan bagi orang, meski bukan saya eksekutornya.

Namun, banyak di antaranya yang tetap menghargai ide-ide itu, baik dalam bentuk apresiasi, difasilitasi, atau dibanderol nominal tertentu.

Saya kasi contoh. Di tahun 2016, saya menyampaikan punya keinginan menyematkan nama saya sebagai brand program siaran radio. Gayung bersambut.

Ketika Bu Arwinny Puspita hendak mengikuti Diklatpim III di Jakarta, Kepala Program Siaran RRI Makassar itu, membawa ide saya “Beranda Pak RT” sebagai proyek perubahan.

Setelah itu, saya pun bersiaran di RRI Pro1 Makassar sebagai host “Beranda Pak RT”. Acara yang dikerjasamakan dengan Pemkot Makassar ini menghadirkan tamu-tamu yang beragam, mulai dari Ketua RT dan Ketua RW, pelaku UMKM, Lurah, hingga Camat.

Sejumlah kepala dinas dan Sekda Kota Makassar, saat ini, pernah jadi tamu saya di “Beranda Pak RT” RRI Pro1 Makassar. Acara ini berhenti tayang, ketika diberlakukan pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 di tahun 2020.

BACA JUGA:  INDONESIA, TEMPAT PALING AMAN JIKA PECAH PERANG DUNIA KETIGA

Cerita lainnya. Saya dan perupa AH Rimba ngobrol di rumahnya. Berdua. Saya kemukakan ide “Ngopi Itu Hak Asasi”. Ide itu kami bawa ke Ifan, owner Etika Studio. Jadilah pertunjukan: puisi, musik, dan testimoni isu HAM.

Demi menghargai si empunya ide, Rimba menuliskan nama saya pada kaos yang dicetak sebagai produk merchandise acara. Itu di tahun 2019.

Sekarang ini, ketika diadakan lomba inovasi, saya pun bermain di belakang layar. Sederet program inovasi sekolah yang mengikuti ajang IMA (Innovative Major Award), yang diadakan Balitbangda/Brida Kota Makassar, maupun IGA (Innovative Government Award) oleh Kemendagri, ada nama saya di sana.

Saya beruntung dikaruniai kemampuan meracik kata-kata menjadi akronim yang muncul sebagai produk inovasi. Prosesnya sederhana. Mau mendengar, menyimak, menganalisis. Lalu mengimajinasikan dalam program. Seolah saya punya polanya.

Seorang kepala sekolah di Kecamatan Rappocini, misalnya, ingin agar dibuatkan inovasi terkait pendidikan karakter. Saya mendengar semua yang disampaikan. Masalahnya, pun harapannya.

Saya kemudian membuat coretan. Sebelum saya tinggalkan sekolahnya, ide inovasinya jadi, dan langsung dibuatkan publikasinya. Hari itu juga.

BACA JUGA:  Fiam Mustamin, Jakarta, dan Perfilman Nasional

Kepala sekolah lain di Kecamatan Tallo, suatu malam menelepon. Bicara tentang kegiatan sekolahnya, dan mengajak saya bermitra. Saya sampaikan ke kepala sekolah bersangkutan, silakan bercerita, sambil saya mencatat apa yang dikemukakan.