HIDUP DALAM NOTIFIKASI

Pada akhirnya, tantangan terbesar generasi ini bukanlah bagaimana menerima notifikasi lebih banyak, tapi bagaimana memilih mana yang layak direspon dan mana yang bisa diabaikan. Di tengah kebisingan digital, siapa yang bisa mematikan notifikasi untuk mendengar dirinya sendiri—itulah yang akan benar-benar hidup.
Dampak jangka panjang dari pola hidup yang dibangun atas notifikasi ini tak bisa dianggap remeh. Pola atensi mereka terfragmentasi—terbiasa melompat dari satu topik ke topik lain dalam hitungan detik. Konsentrasi mendalam menjadi tantangan. Buku yang tebal, percakapan yang tenang, atau aktivitas yang butuh kesabaran terasa menjemukan dibandingkan banjir update singkat yang terus datang. Mereka hidup dalam budaya scroll—di mana satu sentuhan jari bisa mengganti pemandangan, mengganti cerita, bahkan mengganti suasana hati.

Lebih jauh lagi, kecenderungan membandingkan diri pun meningkat. Melihat highlight kehidupan orang lain dalam bentuk story dan postingan, tanpa sadar membuat standar kebahagiaan mereka tergeser. Apa yang orang lain capai, makan, pakai, atau kunjungi, sering dijadikan tolok ukur nilai diri sendiri. Padahal semua itu hanyalah potongan kecil, bukan keseluruhan realitas. Inilah jebakan era notifikasi: ilusi koneksi yang justru bisa merenggangkan hubungan dengan diri sendiri.

BACA JUGA:  Islam, Peran Pemuka Agama dan Kerusakan Lingkungan, dibahas oleh Ma’REFAT INSTITUTE

Maka penting bagi Gen Z untuk membangun kesadaran digital. Bukan dengan menolak teknologi, melainkan merumuskan cara sehat berinteraksi dengannya. Menjadwalkan waktu tanpa gawai, mengatur mode hening, atau sekadar menyadari kapan harus berhenti scrolling adalah langkah kecil untuk kembali memegang kendali atas hidup mereka.

Dikutip dari Buku Fear Of MIssing Out – FOMO karya Aslam Katutu