NusantaraInsight, Makassar — Di Universitas Hasanuddin ketika Pak Amiruddin mulai menjabat rektor, dapat digambarkan sejumlah problem dasar yang ada dan diketahui terjadi.
Pada saat itu kampus Unhas masih berpusat di Kampus Baraya yang hanya memiliki fasilitas dan sarana yang jauh dari memadai. Walaupun, sesungguhnya, Unhas waktu itu memang sudah diketagorikan baik di antara semua universitas atau perguruan tinggi yang ada di Kawasan Timur Indonesia.
Tetapi di mata Fachrudin, yang menjabat Rektor Unhas 1985-1989, untuk membandingkan dengan perguruan tinggi atau institusi pendidikan tinggi yang ada di Pulau Jawa, itu benar-benar tidak sebanding. Sangat menyedihkan, Unhas, saat itu, menjadi universitas “kelas sekian” di negeri ini. Lagipula, kondisi sosial di kampus saat itu sedang sampai pada titik yang paling jenuh.
“Begitu Pak Amiruddin datang, saya sampaikan keadaan itu padanya. Saya katakan bahwa setidak-tidaknya ada beberapa hal yang dapat dikenali sebagai problem, Yaitu, bahwa Unhas itu adalah kumpulan ‘kelompok independen’ bernama fakultas dan mempunyai hubungan yang sangat lemah dengan induknya yang bernama kantor pusat. Organisasi fakultas dalam kenyataannya seperti menjadi kerajaan-kerajaan kecil dalam suatu kerajaan besar,” sebut Fachrudin dalam buku edisi revisi “A.Amiruddin Nakhoda dari Timur”.
Fachrudin menilai, suasana itu kurang mendukung untuk berkembangnya Unhas sebagai satu lembaga pendidikan tinggi. Sebab, sebagian orang di Unhas ketika itu lebih bangga sebagai ‘orang fakultas’ ketimbang sebagai ‘orang universitas’. Itulah problem pertama yang Fachrudin kemukakan pada Pak Amiruddin ketika dia baru datang ke Ujungpandang.
Tantangan seperti ini tampaknya sangat merangsangnya untuk berbuat. Karena itu, dia lantas mencoba ‘meletakkan’ Pola Pikir pada masyarakat universitas.
Caranya, dengan istilah yang Fachrudin sebutkan dengan pola pikir itu adalah, orang mengubah struktur organisasi universitas. Jadi, yang pertama direkayasa adalah sistem.
Jadi, pola pikir ingin diubah dengan membuat struktur organisasi. Dengan perubahan struktur seperti itu menjadi sistem matriks, seperti adanya yang dikenal dengan adanya Dekan Kajian, Dekan Sumber Daya (dengan fakultas yang lebih banyak sumber daya), itu memang mengubah perilaku sivitas akademika. Orientasi tidak lagi pada satu jalan pikiran, tetapi selalu pada program-program kegiatan.
Sesungguhnya,’perang urat saraf’ di Unhas pada masa kepemimpinan Pak Amiruddin berkisar pada perubahan ‘pola pikir’ sivitas akademika. Hasilnya dari apa yang dilakukan Pak Amiruddin terlihat pada kenyataan-kenyataan seperti mengirim orang pergi belajar, meggiatkan mahasiswa, orientasi yang lebih banyak pada pelaksanaan tugas pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat sambil meningkatkan kemampuan para staf.


br






br






