Di hari lain, datang lagi rombongan dari Brimob. Saya perkirakan, mereka ratusan personel, yang bertugas melakukan pengamanan. Walau mereka sigap dan siaga, tapi kadang mereka terlihat santai, beristirahat sejenak.
Pada saat perjanjian Malino, 20 Desember 2001, yang menghasilkan Deklarasi Malino I, hadir dari unsur pemerintah, antara lain Jusuf Kalla selaku Meteri Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), dan Gubernur Sulawesi Selatan, HZB Palaguna. Juga perwakilan dari dua kelompok yang bertikai.
Dalam forum itu, pihak Pemda Gowa dan Pemprov Sulawesi Selatan menghadirkan tokoh masyarakat dataran tinggi Malino, Haji Abdul Rauf Daeng Nompo Karaeng Parigi, selaku narasumber yang membawakan materi seputar peran Malino dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta latar belakang berdirinya kota Malino.
Nah dari pertemuan bersejarah itulah muncul ide menjual kopi. Melihat personel yang ngaso, tebersit, bagaimana kalau saya buka warung kopi dadakan. Secepatnya saya mencari karton manila dan spidol besar. Saya tulis tangan karton tadi dengan huruf besar TERSEDIA: KOPI TEH, INDOMIE SIRAM, DAN NASI PUTIH.
Hanya berselang beberapa saat, petugas yang tadinya berteduh di bawah pohon, bergeser ke tempat kami. Mereka datang satu persatu.
Antrean pengunjung tak terhindarkan di hari pertama itu. Maklum, dadakan. Di ruang tamu yang disulap jadi tempat ngopi itu hanya ada 2 meja, yakni 1 untuk 6 kursi, dan 1 meja kecilnya lagi hanya untuk 4 kursi, plus sepasang kursi tamu.
Usai perjanjian perdamain Poso, kafe yang semula masih berupa warung kopi (warkop) dadakan, terus dibuka, berdampingan dengan Yantel Kukuh.
Kala itu, tamu yang datang cuma Sabtu-Minggu, dan tergantung pada tamu-tamu hotel serta rumah-rumah sewa yang berada di sekitar tempat kami.
Waktu berlalu, tak terasa masuk ke tahun 2002. Malino yang tenang, kembali ramai. Tempat yang berada di Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, ini lagi-lagi dijadikan tempat pertemuan untuk mendamaikan konflik sektarian yang terjadi di Ambon.
Pertemuan yang diadakan pada 13 Februari 2002 ini kemudian melahirkan Piagam Malino II.
Kedua peristiwa ini sangat mendasari pengembangan warung kopi menjadi kafe. Dengan konsep kafe, tentu menu yang disediakan lebih bervariasi.
Pengunjung datang bukan sekadar untuk makan dan minum, tapi juga kongkow-kongkow bersama sahabat. Kafe juga dilengkapi musik karaoke, dan bisa buat meeting untuk kapasitas 60-70 orang.
Waktu terus berjalan, pasca perjanjian Poso dan Ambon, ternyata berdampak positif terhadap arus kunjungan wisata ke Malino. Setiap Sabtu-Minggu, mereka yang datang berekreasi kian ramai, apalagi di awal bulan.