“Pernah itu bosku, mau na tusuk mataku. Dia bilang, kutokdo matanna garpu anne,” katanya, meniru kalimat bosnya yang menggunakan bahasa Makassar, sambil memperagakan tangan yang memegang garpu.
Daeng Lawa menjelaskan, di kantin tengah itu terdapat meja-meja yang diberi nomor sebagai tanda, sekaligus untuk membantu mengidentifikasi pesanan. Kebetulan, pada hari itu lagi ramai pengunjung. Saat dia membawa semangkuk coto ke salah seorang mahasiswa, dia pun bertanya, apakah itu pesanannya. Si mahasiswa yang ditanya mengiyakan, padahal bukan.
Naik Posisi Sebagai Pengiris Daging
Dia bekerja di warung Coto Makassar di kampus UMI itu, kurang lebih setahun. Lantas dia kembali ke Takalar untuk bersekolah. Dia sempat bersekolah di kelas 4, selama sebulan, lalu berhenti lagi. Gurunya, Daeng Pani, kemudian ke rumahnya, mengajaknya supaya kembali bersekolah. Dia menuruti permintaan gurunya dengan bersekolah di SD yang sama sampai kelas 6. Namun, sebelum tamat, dia putuskan berhenti sekolah. Kali ini, alasan biaya. Dia tidak sanggup membayar biaya sekolahnya.
“Segala sesuatu dibayar, orangtuanya tidak mampu. Jadi orangtuaku bilang, lebih baik berhenti sekolah,” papar Daeng Lawa mengenang keputusan yang diambil saat itu.
Tak lama berselang, dia diajak oleh Haji Se’re ke Kabupaten Sidrap untuk bekerja pada warung Coto Makassar miliknya. Warung Coto Makassar milik Haji Se’re berada di Jalan Poros Parepare. Haji Se’re ini berasal dari Bonto Panno, Desa Paddinging, sama dengan Daeng Lawa. Di sini, harga semangkuk Coto Makassar adalah Rp18.000, belum termasuk ketupat.
Pada awal bekerja di Sidrap, posisinya sebagai pelayan. Begitu selesai menjual, warung ditutup. Mereka lantas membuat bumbu coto untuk keperluan esok hari. Daeng Lawa ikut juga membuat bumbu, mulai dari bumbu di-paberek (bahasa Makassar, maksudnya menghaluskan atau memblender bumbu), digoreng, hingga dicampur. Tantangan bekerja di bagian bumbu ini, kata Daeng Lawa, pada saat menggoreng bumbunya. Dia mesti bisa perkirakan lamanya, yakni selama 2 jam.
“Kalau mendidih, itu yang sulit karena bumbunya berlompatan saat panas. Jadi bumbu itu digoreng hingga naik minyaknya, baru selesai,” cerita Daeng Lawa berbagi pengalaman.
Setelah bekerja di warung Coto Makassar di Sidrap, selama 20-an tahun, dia putuskan berhenti, untuk pulang kampung ke Paddinging. Namun, situasi tidak bersentuhan dengan warung Coto Makassar ini, ternyata tidak lama. Lagi-lagi dia mendapat tawaran bekerja di warung coto. Kali ini, dia diajak Daeng Toto ke Sengkang, Kabupaten Wajo. Ajakan dari Daeng Toto ini pun dia iyakan. Di warung ini, semangkuk Coto Makassar dipatok seharga Rp19.000.


br






br






