Daeng Lawa Asal Takalar, sejak Kecil Kerja di Warung Coto Makassar (Bagian 1)

Daeng Lawa
Daeng Lawa

“Bapak tiri saya ini orangnya baik. Kalau ada yang saya inginkan, dia penuhi. Saya ingat, pernah dibelikan sepeda, saat saya duduk di kelas 2 SD,” kenang Daeng Lawa sambil menyuap kuah coto pelan.

Bermula Sebagai Tukang Cuci Mangkuk

Setelah tak lagi tinggal bersama ibu dan bapak tirinya, Daeng Lawa diasuh neneknya yang tinggal di Cikoang. Dia sempat bersekolah sampai kelas 3 SD. Begitu berhenti sekolah, dia merantau ke Makassar, di awal tahun 1990. Tetangganya, Haji Rowa, yang mengajaknya ke ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan itu. Haji Rowa punya warung Coto Makassar di kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Jalan Jenderal Urip Sumoharjo Km 5. Warungnya berada di kantin tengah.

Tugas pertamanya ketika pertama kali bekerja di warung Coto Makassar, adalah sebagai tukang cuci mangkuk coto. Sebagai anak kecil yang belum terbiasa, Daeng Lawa mengaku mencuci mangkuk yang bentuknya cekung, terasa rumit baginya. Kadang ada yang pecah, bila mangkuk-mangkuk itu ditumpuk. Ada pula yang jatuh saat diangkat karena licin oleh basah air sabun.

BACA JUGA:  AB Iwan Azis Berbagi Kisah Tentang Media dan Wartawan di Masanya

“Kalau mangkuknya pecah, saya dimarahi,” kenang Daeng Lawa dengan wajah masam.

Sebagai tukang cuci mangkuk, dia diupah Rp2.500, atau kadang Rp1.500 sehari. Pembayarannya, katanya, tidak tentu. Sebab tergantung pengunjung pada hari itu. Kalau banyak yang laku maka dia pun akan dibayar Rp2.500. Rerata, orang makan coto antara pukul 09.00-11.00, yang dianggap sebagai waktu nikmat menyantap Coto Makassar. Semangkuk coto di sini harganya Rp7.000. Dia tak lama bekerja sebagai pencuci mangkuk, karena setelah itu posisinya naik menjadi pelayan.

Selama di Makassar, dia tinggal bersama Haji Rowa di dekat Pasar Pa’baeng-Baeng. Sebagai orang yang menumpang, apalagi di rumah bosnya, dia mesti bekerja membantu bosnya itu. Setiap hari, sehabis waktu sholat Isya, dia dan teman-teman sesama pekerja di warung coto mesti mengambil air untuk mengisi bak mandi. Sebab, air sumur di situ keruh, warnanya kekuningan. Jadi terpaksa mesti membeli air ledeng Rp500 per ember, yang berukuran tidak terlalu besar.

“Kami saat itu tinggal berempat, sesama pekerja di warung Coto Makassar. Ada yang bekerja sebagai pencuci mangkuk, pengantar air minum ke pembeli, dan juga sebagai pelayan,” terang Daeng Lawa.

BACA JUGA:  Miris, Menjelang Ramadhan Pinjol Makin Marak

Sebagai pelayan, tugasnya mengantar coto sesuai pesanan pembeli. Jadi, dia akan datang menghampiri pembeli begitu si pembeli duduk, lalu menanyakan apa yang akan dipesan. Setelah itu, dia juga yang mengantar pesanan coto tersebut ke pembeli.

Menurutnya, bekerja sebagai pelayan ini tinggi risikonya. Dia mesti cermat mengingat pesanan setiap pembeli. Pasalnya, tidak semua pembeli memesan coto dengan isi mangkuk yang sama. Masing-masing memesan sesuai seleranya. Ada yang pesan campur, ada yang hanya daging, ada yang daging dan paru, dan lain-lain varian. Kalau salah, dia akan kena marah.

br
br