CIVIL SOCIETY BARU BERNAMA OJOL

Ia lahir dari pengalaman keseharian. Dan karena itu, ia jauh lebih kuat: mengakar di realitas hidup, bukan hanya di atas kertas.

-000-

Ojol sebagai Civil Society Baru

Dalam ilmu politik, civil society dipahami sebagai jaringan organisasi sosial yang hidup di luar negara dan pasar.

Ia adalah ruang di mana warga belajar mengorganisir diri, menyuarakan kepentingan, dan melawan ketidakadilan.

Selama ini, kita mengenal civil society dalam bentuk LSM, serikat buruh, organisasi mahasiswa, atau kelompok keagamaan.

Tetapi kini, di abad digital, bentuk baru itu muncul: komunitas ojol.

Mengapa ojol layak disebut civil society baru?

1. Skala Massa: jutaan orang di Indonesia menggantungkan hidup dari profesi ini.

2. Keterhubungan Digital: tak ada komunitas lain yang sedemikian terhubung dalam hitungan detik melalui aplikasi.

3. Disiplin Kolektif: terbiasa berbaris, terbiasa konvoi, terbiasa patuh pada koordinasi lapangan.

4. Modal Sosial: mereka punya reputasi di tengah masyarakat.

Banyak yang dekat dengan pelanggan, guru, ibu rumah tangga, pekerja kantoran—menjadikan mereka jembatan sosial lintas kelas.

BACA JUGA:  Dari Secangkir Kopi ke Pintu Kolaborasi

Momen konvoi AK menunjukkan: ketika ada ketidakadilan, komunitas ini bisa bergerak dengan cepat, masif, dan terorganisir—bahkan tanpa struktur formal.

-000-

Secara formal, ojol adalah bagian dari gig economy—pekerja lepas yang diikat kontrak fleksibel dengan perusahaan aplikasi.

Mereka bukan karyawan tetap, tidak punya jaminan sosial memadai, seringkali terjebak dalam algoritma yang tak memberi ruang tawar.

Namun, justru karena itu, komunitas ojol lebih mudah menyadari bahwa mereka membutuhkan solidaritas.

Mereka merasakan rapuhnya posisi tawar di hadapan perusahaan dan negara. Mereka tahu, satu-satunya kekuatan mereka adalah kebersamaan.

Kematian AK menjadi momen kristal: dari sekadar pekerja gig economy, mereka bertransformasi menjadi kekuatan sosial-politik.

Tidak disatukan oleh serikat resmi, tetapi oleh rasa senasib. Tidak dimotivasi oleh ideologi, tetapi oleh duka yang nyata.

Di sepanjang jalan, ribuan motor berbunyi serentak. Klakson bukan lagi tanda terburu-buru, tetapi tanda duka kolektif.

Bagi warga yang menyaksikan, konvoi itu adalah pemandangan haru: betapa kuatnya solidaritas kelas pekerja jalanan.

Namun, duka yang mendalam juga menyimpan potensi menjadi api. Api yang bisa membakar semangat perubahan, atau api yang bisa melahirkan amarah destruktif.

BACA JUGA:  Momentum May Day: Ilusi Kesejahteraan Buruh Dalam Sistem Kapitalisme

Di sinilah pentingnya pengelolaan solidaritas. Tanpa kanal formal, energi besar komunitas ojol bisa liar. Tetapi jika diarahkan dengan bijak, ia bisa menjadi kekuatan baru civil society yang memperkaya demokrasi Indonesia.

br
br