Bahkan, andaikata tidak mengenakan seragam jaket KONI, saya tidak mengenal beberapa orang yang hadir saat musyawarah olahraga provinsi (Musorprov).
Pada saat itulah baru mereka muncul, terutama personil pengurus yang memiliki pekerjaan tetap dan tidak bisa meninggalkan kantor pada jam-jam tertentu. Pada kepengurusan lalu, banyak pengurus yang aparatur sipil negara (ASN), namun mereka mengerti posisinya sebagai bagian dari organisasi ini, sehingga berusaha mencari waktu untuk sekadar muncul di KONI.
Kedua, di masa kepengurusan KONI 2022-2026, yang pemilihan ketua umum terpaksa dipercepat 19 November 2025 — periode lalu pemilihan ketua umum dilaksanakan saat musorprov Maret 2022 — memikul beban yang tidak kalah berat. Yakni, mengembalikan muruah (kehormatan) Sulawesi Selatan berada pada peringkat yang lebih baik dibandingkan pada PON XXI/2024 Aceh-Sumut, saat Sulsel terpuruk pada peringkat XVI perolehan medali kontingen.
Peringkat ini merupakan prestasi terburuk yang dicapai Sulsel selama mengikuti kompetisi olahraga multievent berskala nasional.
Ketika menjelang dan saat terpilih, pengurus yang lalu dengan penuh percaya diri memasang target lima besar.
Tribun Timur mengutip pendapat saya setelah PON XXI usai, menulis target itu terlalu ambisius tanpa mempertimbangkan berbagai aspek.
Jika memasang target itu hanya menindaklanjuti dan merujuk harapan Gubernur Sulsel, itu pun sangat tidak rasional. Memang Sulsel pernah meraih peringkat IV pada tahun 1981, tetapi saat itu kekuatan atlet kita luar biasa dan tanpa permasalahan finansial seperti sekarang ini.
Sekarang, ketua umum KONI Sulsel mau pasang target berapa? Jika harus memasang target, sebaiknya sedikit diplomatis agar tidak menjadi bumerang di kemudian hari.
Ketiga, persoalan dana hibah yang harus melalui Dispora. Birokrasi pengelolaan dana hibah ini ternyata menjadi batu sandungan pembinaan prestasi olahraga di Sulsel. Kasus ini bermula saat DPRD Sulsel menerima usul segelintir orang agar mengalihkan lalu lintas pengelolaan dana hibah itu ke Dispora.
Dalam realitasnya, pertanggungjawaban yang diterapkan adalah setelah kegiatan tuntas dan masuk ke Dispora barulah dana dicairkan. Ini adalah model manajemen yang mustahil dilakukan untuk kegiatan olahraga yang memerlukan dana segar agar atlet bisa mengikuti kegiatan.
Akibatnya, banyak pimpinan induk cabang olahraga yang menalangi dulu dana tersebut supaya atlet dapat mengikuti kegiatan.
Cara yang selalu dilakukan adalah meminjam pada pihak yang berada. Kadang ada juga yang meminjam pada koperasi.








