Catatan dari Gustal (1): Berwisata Laut Sembari Bernostalgia

Setelah kedatangan pertama tahun 1971, sekitar tahun 1976 saya berkunjung ke Pulau Laelae dan mewawancarai salah seorang penyewa ban mobil untuk para pengunjung yang mandi di laut. Wawancara itu dimuat di Harian “Pedoman Rakyat” dengan foto saya yang masih gondrong.

Gustal Primadona Wisata Laut

Speedboat meluncur kencang melenyapkan kenangan lama saya yang duduk termenung. Jarak 1,6 km ditempuh menuju Gustal hanya berkisar 5-7 menit. Saat kami pulang, karena penumpang tidak begitu banyak, speedboat meluncur dengan kecepatan sama saat menuju Gustal, namun hanya memerlukan waktu 5 menit untuk tiba di dermaga, tempat kami berangkat.

Ketika saya ke Gustal dua kali sebelumnya, belum ada penarikan tarif/karcis menuju dermaga. Kini sudah ada penjual karcis. Saya tidak tahu berapa jumlahnya. Namun ketika saya bertanya ke AI (Artificial Intelligence) — kecerdasan buatan — dijawab, harga tiket itu Rp 20.000 per kepala/dewasa dan anak-anak Rp 10.000/kepala. Biaya itu termasuk untuk transpor ke Gustal.

Kami masih pagi sudah meluncur dan tiba di Gustal. Laut masih sangat tenang. Hari itu, pengunjung tidak terlalu banyak karena kami berkunjung pada hari Sabtu. Kalau hari Ahad jelas pengunjungnya membludak dan padat.

BACA JUGA:  Melihat Rumah Lebih Dekat

Pulau Gustal kerap juga disebut Pulau Laelae Kecil, berada di Kelurahan Laelae Kecamatan Ujung Pandang Kota Makassar. Pulau seluas 2 hektare ini berada di antara Pulau Laelae dengan Pulau Kayangan.

Yang menggoda orang ke sini, pasir putihnya yang bersih. Membentang jauh ke selatan. Rupanya itu pasir alamiah yang dihempas gelombang. Kehadiran Pulau Gustal ini sangat penting, yakni membendung aliran pasir yang tergiring gelombang masuk ke ‘danau’ Pelabuhan Makassar. Kedua, Gustal menjadi benteng terhadap gelombang pada musim barat, Desember-Maret yang berpotensi ‘mengganggu’ kenyamanan sandar kapal di Pelabuhan Makassar.

Dalam sejarahnya, Pulau Gustal ini terbentuk dari tumpukan pasir yang kian meninggi dari waktu ke waktu. Awalnya, pulau ini sunyi. Pemerintah kemudian membangun tembok dan meletakkan potongan-potongan beton di atas tumpukan pasir tersebut, sehingga membentuk benteng tangguh yang siap menangkis hantaman gelombang musim barat.

Gustal selain menawarkan pasir putih, juga laut berwarna biru, dan bersih. Ada ‘gasebo’ tempat beristirahat. Konon, pada malam hari, banyak anak muda yang berkemah di sini. Menyaksikan suasana malam Pulau Sulawesi, khususnya Kota Makassar dari arah laut.

BACA JUGA:  Mutiara Anak

Pada pagi hari, para pengunjung dapat membuat konten video saat kapal-kapal bergerak pelan menuju atau dari Pelabuhan Makassar beberapa ratus meter dari tempat kita berendam. Di ujung tanggul beton Gustal ada celah laut yang kosong yang di tengahnya ada lampu suar yang menyala pada malam hari. Kapal masuk-keluar melalui celah ini. Kami bersyukur, belum sempat berendam di laut, tiba-tiba KM Ciremai melintas. Kami pun memanfaatkan kesempatan langka ini untuk bergambar dengan latar belakang kapal Pelni yang melayari ture reguler Jakarta-Surabaya-Makassar-Baubau-Ambon-Sorong-Serui-Jayapura (pergi pulang) itu. (Bersambung)