Anak-Anak Palestina dalam Spiral Kekerasan

Rusdin Tompo
Rusdin Tompo

Film lain, berjudul “Two Kids a Day” (2022), mengisahkan anak-anak Palestina di Tepi Barat yang jadi tawanan Israel. Dalam film karya sineas Israel, Yoav Roeh dan Aurit Zamir itu, diungkapkan bahwa terdapat sekira 700 pemuda ditangkap militer Israel setiap tahunnya. Artinya, rata-rata dua anak setiap hari ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Perkaranya, mereka dituduh melempar batu tentara Israel, sehingga berakibat ditahan bertahun-tahun. Film yang menarik simpati ini, berhasil meraih penghargaan Grand Prix Japan Prize, yang disponsori NHK (Nippon Hoso Kyokai). Tentu saja, bukan semata-mata karena sinematografinya, melainkan menyingkap aspek kemanusiaan yang kuat.

Spiral Kekerasan

Fakta-fakta memiriskan diungkap UNICEF bahwa anak-anak Palestina mengalami kekerasan dalam perjalanan pergi dan pulang dari sekolah, serta mengalami kekerasan domestik di rumah. Sebuah studi tentang kekerasan terhadap anak menyimpulkan ada dua sumber utama kekerasan. Pertama, kekerasan akibat pendudukan dan konflik Israel-Palestina yang sedang berlangsung, dan kedua, kekerasan dalam keluarga dan komunitas Palestina. Kedua kekeransan ini saling berhubungan dan terkait dengan stres dan disfungsi keluarga (www.unicef.org).

BACA JUGA:  Indira Jusuf Ismail, PKK, dan Kota Layak Anak

Realitas hidup anak-anak Palestina ini mencerminkan apa yang disebut oleh Dom Helder Camara (1909-1999) sebagai spiral kekerasan. Teori ini dapat dijelaskan dari bekerjanya tiga bentuk kekerasan yang bersifat personal, institusional, dan struktural, yaitu ketidakadilan, kekerasan pemberontakan sipil, dan represi negara. Kemunculan kekerasan yang satu akan disusul dan memunculkan kekerasan lain, yang terus berulang. Anak-anak yang secara fisik, psikis, dan sosial tergantung pada orang dewasa, menjadi kelompok paling rentan dan berisiko. Berbagai paparan kekerasan yang dialaminya itu, juga mungkin akan ditiru dan diproduksi dalam skala dan intensitas berbeda.

Karena itu, hukum internasional menaruh perhatian besar terhadap nasib anak-anak, sesuai prinsip the best interest of the child. Keharusan memberikan perlindungan dan perlakuan manusiawi kepada anak-anak, sejatinya diatur dalam Konvensi Jenewa 1949. Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) PBB, tahun 1989, juga secara tegas mencantumkan hal ini. Bahkan ada Protokol Tambahan Konvensi Tentang Hak Anak Berkenaan Dengan Keterlibatan Anak Dalam Konflik-Konflik Bersenjata. Namun, napsu perang dan hasrat berkuasa, membuat kerangka hukum internasional sering tak berdaya di hadapan laras senjata dan moncong meriam.

BACA JUGA:  Bersepeda Ala Komunitas KassaKi Kelurahan Karampuang, Makassar, Bukan Sekadar Berolahraga

Tampaknya, kita perlu merenungkan kata-kata James P. Grant dalam State of the World’s Children Report-1990, yang mengatakan bahwa sejak 1929 dunia disibukkan terus-menerus dengan perang, menghadapi perang, ancaman perang, menahan perang, mempersiapkan perang, dan membayar perang. Seluruh derita perang ini, paling berat dipikul oleh anak-anak kita. Kesejahteraan mereka dikurbankan, kesehatan mereka dihancurkan, dan masa depan mereka dirusakkan. []