Agustus Merdeka, Agustus Kelabu: Sebuah Catatan Paradoks

Agustus
Hamri Manoppo

Belajar dari Semangat Paskibraka

Mungkin bangsa ini perlu belajar dari anak-anak paskibraka. Mereka berbeda asal, berbeda latar belakang, tetapi dalam barisan mereka hanya ada satu irama: langkah serempak menuju tiang bendera. Mereka rela menahan sakit saat berlatih, rela menyingkirkan ego pribadi, karena yang mereka jaga adalah simbol bangsa.

Tan Malaka pernah menulis dalam Madilog: “Tujuan hidup yang tinggi hanya bisa dicapai dengan pikiran jernih dan tindakan bersama.” Kata-kata ini mengingatkan bahwa bangsa hanya bisa tegak jika rakyat dan pemerintah berjalan dalam irama yang sama.

Jika semangat ini bisa ditularkan ke ruang politik, ekonomi, dan sosial, paradoks Agustus bisa berubah menjadi energi positif. Demonstrasi tidak lagi dilihat sebagai ancaman, melainkan dialog terbuka. Pemerintah tidak lagi dipandang sebagai menara gading, melainkan mitra rakyat. Dan rakyat tidak lagi sekadar massa, melainkan penentu arah bangsa.

Catatan Akhir

Agustus merdeka dan Agustus kelabu adalah dua sisi mata uang yang sama. Keduanya mengingatkan kita bahwa bangsa ini lahir dari perjuangan, tetapi juga masih terus berjuang. Perayaan kemerdekaan adalah rasa syukur, sementara demonstrasi adalah rasa jujur. Syukur menjaga kita tetap optimis, jujur menjaga kita tetap realistis.

BACA JUGA:  L.E.Manuhua : Lolos Berkat Kamera Tanpa Film

Maka, daripada melihatnya sebagai pertentangan, mari kita melihatnya sebagai pelengkap. Agustus yang cerah membuat kita percaya pada masa depan, Agustus yang kelabu membuat kita tidak lupa pada pekerjaan rumah.

Indonesia berdiri bukan untuk sekadar merdeka dari penjajahan, tetapi juga merdeka dari ketidakadilan, kemiskinan, dan kebodohan. Selama cita-cita itu belum sepenuhnya tercapai, paradoks Agustus akan terus hadir. Namun, justru di situlah letak keindahannya: bangsa ini masih hidup, masih berjuang, dan masih punya harapan.

Kotamobagu, Akhir Agustus 2025

br
br