Agustus Merdeka, Agustus Kelabu: Sebuah Catatan Paradoks

Agustus
Hamri Manoppo

Demonstrasi yang lahir di bulan kemerdekaan adalah paradoks yang nyata. Di satu sisi, ia menunjukkan kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi—sebuah tanda bahwa demokrasi hidup. Di sisi lain, ia mengingatkan bahwa janji-janji kemerdekaan belum sepenuhnya terpenuhi.

Bung Hatta pernah berkata, “Indonesia merdeka bukan tujuan akhir, melainkan jembatan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.” Jika rakyat masih kesulitan hidup, maka jembatan itu belum benar-benar mengantarkan mereka ke seberang.

Bagi sebagian rakyat, kemerdekaan masih sebatas upacara simbolik. Merdeka belum berarti bebas dari pengangguran. Merdeka belum berarti bebas dari kemiskinan. Merdeka belum berarti bebas dari rasa cemas atas masa depan anak-anak.

Paradoks Agustus

Paradoks inilah yang membuat Agustus selalu berwarna ganda: merah putih yang gagah, sekaligus kelabu yang menyesakkan. Kita merayakan kemenangan masa lalu, tetapi di saat yang sama, kita diuji dengan tantangan hari ini.

Namun, paradoks ini sesungguhnya sehat bagi bangsa. Tanpa demonstrasi, pemerintah bisa saja merasa segalanya baik-baik saja. Tanpa suara rakyat, kemerdekaan hanya akan jadi perayaan seremonial tanpa makna. Justru karena ada demonstrasi, kita diingatkan bahwa demokrasi masih bernapas, bahwa rakyat masih peduli, dan bahwa bangsa ini masih hidup.

BACA JUGA:  Masih Butuh Pergub Sulawesi Selatan untuk Laksanakan Perda Literasi Aksara Lontaraq, Bahasa, dan Sastra Daerah

Agustus merdeka adalah simbol harapan, Agustus kelabu adalah alarm kewaspadaan. Keduanya bukan musuh, melainkan pasangan yang saling melengkapi.

Menjaga Sejuk di Tengah Riuh

Pertanyaannya kemudian: bagaimana agar paradoks ini tidak berubah menjadi konflik berkepanjangan? Di sinilah pentingnya sikap sejuk. Demonstrasi boleh ada, tetapi harus dijaga dalam koridor damai. Pemerintah boleh disorot, tetapi juga perlu diberi ruang untuk mendengar dan memperbaiki.

Bung Karno pernah berpesan, “Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsanya hidup dalam damai dan persaudaraan.” Pesan ini seharusnya tidak hanya berlaku di kancah internasional, tetapi juga di dalam negeri sendiri. Demonstrasi haruslah ruang persaudaraan, bukan permusuhan; dialog haruslah menjadi jembatan, bukan jurang.

Kebebasan berpendapat adalah buah kemerdekaan, dan ia harus dijaga. Namun, kemerdekaan juga menuntut tanggung jawab: agar suara disampaikan dengan cara yang bermartabat, agar kritik disertai tawaran solusi, dan agar protes tidak berubah menjadi kekerasan.

Begitu juga dengan pemerintah. Mereka yang memegang amanah seharusnya tidak menutup telinga. Demonstrasi bukan sekadar gangguan lalu lintas, melainkan cermin dari keresahan rakyat. Justru di bulan Agustus, pemerintah diuji apakah benar-benar merdeka dari ego dan kesombongan, atau masih terpenjara oleh kepentingan sesaat.

br
br