Agustus Merdeka, Agustus Kelabu: Sebuah Catatan Paradoks

Agustus
Hamri Manoppo

Oleh : Hamri Manoppo

NusantaraInsight, Kotamobagu — Agustus selalu datang dengan wajah yang bercahaya. Sejak 17 Agustus 1945, bulan ini menjadi tonggak kebanggaan bangsa. Setiap tahun, merah putih dikibarkan di halaman rumah, sekolah, kantor, hingga pelosok desa. Langkah tegap para paskibraka di lapangan upacara menjadi simbol keteguhan dan harapan. Semua orang merayakan kemerdekaan dengan gegap gempita: lomba panjat pinang, balap karung, gerak jalan, hingga pesta rakyat. Ada semangat kebersamaan yang tumbuh kembali, seolah sejarah bersuara di setiap tiang bendera.

Namun, di balik wajah cerah itu, Agustus juga sering datang membawa warna kelabu. Bukan hanya karena hujan yang sesekali turun, tetapi karena suara-suara kegelisahan rakyat yang mengisi jalanan kota. Demonstrasi, unjuk rasa, dan aksi protes kerap hadir berbarengan dengan euforia kemerdekaan. Seakan ada paradoks yang sulit dipungkiri: ketika satu sisi bangsa merayakan kemerdekaan, sisi lain mengingatkan bahwa kemerdekaan belum sepenuhnya dirasakan merata.

Fenomena ini bukanlah kebetulan. Agustus adalah bulan refleksi. Ia menyingkap kembali pertanyaan dasar: sudahkah kemerdekaan yang diproklamasikan 79 tahun lalu benar-benar menetes ke setiap sendi kehidupan rakyat?

BACA JUGA:  Jejak Toleransi : Pelajaran Mozarabes di Semenanjung Iberia untuk Indonesia

Merdeka yang Dirayakan

Paskibraka menjadi ikon Agustus. Anak-anak muda yang terpilih, berlatih berbulan-bulan, hanya untuk beberapa menit di bawah sorotan mata bangsa. Mereka mengibarkan bendera dengan langkah tegap, senyum yakin, dan dada penuh harapan. Dari mereka, kita belajar arti disiplin, kerja keras, dan pengorbanan.

Di desa-desa, Agustus menghadirkan pesta rakyat. Tak peduli kaya atau miskin, semua ikut serta. Panjat pinang yang licin mengajarkan bahwa hadiah tak mungkin diraih tanpa kerja sama. Balap karung mengingatkan kita akan kesederhanaan masa lalu yang penuh tawa. Gerak jalan memperlihatkan derap kebersamaan, bahwa langkah bangsa hanya bisa kuat bila serentak.

Di sini, Agustus terasa merdeka. Bendera berkibar di langit biru, lagu kebangsaan dikumandangkan, dan orang-orang saling menyapa dengan gembira. Ada rasa syukur bahwa negeri ini berdiri di atas perjuangan panjang dan darah para pahlawan.

Kelabu yang Menyelinap

Namun, di jalan-jalan kota, sering kali Agustus justru menjadi panggung keluh kesah. Mahasiswa turun dengan spanduk, buruh berorasi di depan gedung pemerintahan, petani mengadukan nasib mereka. Mereka berteriak tentang ketidakadilan, harga kebutuhan pokok yang naik, lapangan kerja yang sempit, atau kebijakan yang dianggap tidak berpihak.

br
br