10 Pesan Spiritual yang Universal dari “Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama” (1) 

Spiritual
10 Pesan Spiritual yang Universal dari “Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama

Ketika wahyu diwahyukan, ia berpakaian bahasa dan simbol-simbol kultur lokal, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari tradisi dan nilai-nilai masyarakat.

Bahasa adalah produk kultur, dan saat wahyu diartikulasikan dalam bahasa manusia, ia menyerap nuansa kultural yang membentuk tafsirnya.

Setiap tradisi keagamaan menunjukkan bagaimana elemen transendensi menjadi bagian dari kultur:

• Islam di Arab: Ajaran tauhid berpadu dengan hukum adat dan tata sosial masyarakat.

• Kristen di Barat: Pesan kasih Kristiani membentuk etika moral dalam kultur Eropa.

• Hindu di India: Konsep dharma menyatu dalam sistem sosial dan ritual budaya.

Wahyu tidak bisa eksis di luar konteks budaya, karena manusia memahami kebenaran transenden melalui simbol, ritus, dan bahasa kultur.

Bahkan penafsiran wahyu berkembang seiring waktu, menyesuaikan diri dengan dinamika sosial.

Dalam proses ini, agama menjadi jiwa kultur yang menjaga makna transendensi dalam kehidupan manusia.

Agama adalah sistem simbol yang memberi makna pada pengalaman manusia, menyelaraskan realitas transenden dengan tatanan dunia.

Maka, agama adalah wajah transendensi dalam kultur, dan kultur adalah ekspresi sosial dari wahyu yang hidup.

BACA JUGA:  SIAPA KAWANMU ITULAH DIRIMU (Nasehat Buat Kaum Milenial)

“Ketika wahyu masuk ke dalam sejarah, ia menjadi kultur. Dan di dalam kultur, wahyu menemukan bentuk yang menghidupkan makna spiritual bagi peradaban.”

-000-

Di balik segala perbedaan yang terlihat, ada keheningan yang menyatukan.

Ketika Francis dari Assisi menatap wajah Sultan Malik al-Kamil, ia menemukan Tuhan di tempat yang tidak diduga. Di situ, batas antara agama, budaya, dan tradisi menghilang. Hanya cahaya kesadaran universal yang bersinar.

Begitu pula wahyu. Ketika ia masuk dalam sejarah, ia menjadi kultur, mengakar dalam bahasa, adat, dan simbol manusia. Dalam proses itu, dimensi spiritual wahyu tetap hidup dalam setiap ritus dan nilai-nilai budaya.

Esai ini juga mengajukan satu term baru: quantum spirituality ethics. Ini etik soal ketidakpastian kuantum yang menginspirasi kerendahan hati dalam beragama.

“Jika elektron bisa berada di dua tempat sekaligus, mengapa kebenaran agama harus terkurung dalam satu tafsir?”

Di dunia yang terus berubah, spiritualitas universal ini menjadi jembatan antara hati yang terpisah. Ia mengingatkan kita bahwa di balik keragaman, Tuhan hadir di setiap denyut kehidupan.

BACA JUGA:  Riset Terbaru, Januari 2025: 100 HARI PRABOWO-GIBRAN, Ranking Respon Positif dan Negatif

Dan di situlah, realitas akhirnya menjadi spiritual.***

Mekkah, di Hari Lebaran 30 Maret 2025

CATATAN

(1) Francis dari Assisi jumpa Sultan Malik al-Kamil
Meeting Sultan Malik al-Kamil: St. Francis in a Foreign Land | Franciscan Media