Sebaliknya, banyak warga Yahudi di luar Israel justru menunjukkan empati dan solidaritas terhadap perjuangan Palestina. Di Amerika Serikat misalnya, kelompok Yahudi seperti Jewish Voice for Peace dan IfNotNow secara terbuka menentang pendudukan Israel atas wilayah Palestina dan mengecam genosida yang dilakukan atas nama “keamanan nasional”. Mereka menyatakan bahwa mendukung hak-hak rakyat Palestina bukanlah bentuk kebencian terhadap Yahudi, tapi justru panggilan moral untuk menolak penindasan dalam segala bentuknya — termasuk yang dilakukan oleh negara Israel sendiri.
Hubungan dengan Negara
Warga Yahudi di Israel memiliki hubungan langsung dengan negara, bahkan menyatu dengan sistemnya. Mereka membayar pajak ke pemerintah Israel, anak-anak mereka masuk dalam dinas militer Israel, dan mereka berpartisipasi dalam sistem politik yang membentuk kebijakan-kebijakan terhadap Palestina. Artinya, keterlibatan mereka bersifat struktural dan berdampak langsung terhadap konflik yang terjadi.
Sementara itu, warga Yahudi di luar negeri lebih bersifat otonom. Mereka bisa memilih untuk tidak terlibat dalam isu Israel-Palestina, atau sebaliknya, menjadi suara kritis yang bebas dari tekanan nasionalisme negara. Karena tidak memiliki keterikatan struktural dengan militer atau pemerintah Israel, mereka lebih leluasa mengevaluasi kebijakan luar negeri Israel tanpa rasa takut dituduh sebagai “pengkhianat bangsa”.
Spektrum Religius dan Budaya
Spektrum religius Yahudi juga jauh lebih beragam di luar Israel. Di banyak negara, komunitas Yahudi terbuka terhadap pluralitas — ada Yahudi Ortodoks, Reformis, Konservatif, bahkan sekuler yang tidak mempraktikkan ritual agama sama sekali. Perbedaan ini menciptakan ruang dialog yang lebih luas, termasuk terhadap isu keadilan sosial dan hak asasi manusia.
Sebaliknya, di Israel, komunitas Yahudi Ortodoks ultra-konservatif memiliki pengaruh besar, terutama dalam politik dan kebijakan publik. Mereka berperan dalam menentukan siapa yang diakui sebagai “Yahudi sejati”, bahkan mempersulit pernikahan antaragama dan konversi. Pandangan sempit ini sering memperkuat diskriminasi terhadap non-Yahudi — termasuk warga Palestina yang hidup sebagai minoritas di Israel.
Solidaritas Kemanusiaan
Tragedi yang terjadi di Gaza sejak akhir 2023 hingga pertengahan 2025 telah mengungkap dengan jelas siapa yang memilih berpihak pada kemanusiaan. Saat dunia menyaksikan pembantaian massal, blokade bantuan, dan kehancuran infrastruktur sipil di Gaza, beberapa warga Yahudi di Israel membela tindakan tersebut sebagai “hak untuk membela diri.” Namun di luar Israel, ratusan ribu warga Yahudi ikut dalam demonstrasi pro-Palestina, membawa spanduk bertuliskan “Not in Our Name” (Bukan atas nama kami), dan mendesak pemerintah mereka untuk menghentikan dukungan terhadap Israel.