Makassar memiliki potensi besar dengan keberadaan museum, situs budaya dan temuan arkeologis, seperti jejak peradaban manusia berusia 40.000 tahun di Kabupaten Maros. Namun, pemanfaatannya sebagai daya tarik budaya masih sangat terbatas. Menurut Akademisi Universitas Hasanuddin ini, “Pemerintah kota kurang optimal memadukan temuan-temuan ilmiah dan warisan sejarah untuk menjadi elemen pendukung pembangunan (kota) modern yang mampu menarik perhatian dunia.”
Pada masa Daeng Patompo menjabat sebagai Walikota, Makassar telah memiliki _Master Plan_ pembangunan. Kota ini dibagi sesuai zona pembangunannya, mulai dari zona pemerintahan, perekonomian, pemukiman, pendidikan, dan wisata. “Tapi setelah tahun 1970-an, Makassar mengalami lonjakan pembangunan yang sangat masif. Sayangnya, pembangunan itu tidak berjalan sesuai dengan Master Plan yang telah dibuat sebelumnya. Sehingga, saat ini kita bisa melihat Kota Makassar tidak memiliki integrasi antar satu wilayah dengan wilayah lainnya.” Pungkas dosen yang akrab disapa Daeng Makkelo ini.
Kita dapat dengan mudah menemui banyak masalah tata ruang, mulai dari pengurangan taman kota, banjir, dan kemacetan kota. Padahal dalam pembangunan kota harus memperhatikan 3 aspek, yaitu: ruangnya, tanggapan masyarakat, dan masalah sosial yang akan ditimbulkan dalam pembangunan.
“Masyarakat juga harusnya dilibatkan dalam pembangunan, untuk bersama-sama menciptakan kota yang nyaman untuk ditempati,” pungkas Daeng Makkelo mengakhiri sesinya.
Mohammad Muttaqin dari MA’REFAT Institute sebagai pemantik kedua, mengawali pemaparannya dengan pertanyaan, “Apakah perkembangan Kota Makassar hari ini baik-baik saja?”
Makassar memiliki sistem perencanaan dalam menjalankan pembangunan kota. Ada dua jenis sistem perencanaan, yaitu perencanaan pembangunan (development planning) dan perencanaan spasial (spatial planning). “Sayangnya, dalam perkembangan Makassar, kedua instrumen ini tidak digunakan secara optimal, yang menyebabkan berbagai persoalan muncul.” Kata Muttaqin menjabarkan masalah.
“Kota terbaik bagi kamu adalah tempat di mana kehidupan dirimu diatur dengan sistem.” Demikian dikatakan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Namun di Makassar— masih dalam penjelasan Muttaqin— sistemnya ada, tetapi tidak digunakan. Dokumennya ada, tetapi tidak dijalankan secara maksimal.
Saat ini, kita menghadapi permasalahan pembangunan di Kota Makassar, terutama pada persoalan keseimbangan wilayah. Pembangunan lebih banyak terkonsentrasi di area tertentu, seperti pesisir barat Makassar, sementara daerah pinggiran seperti tak mendapatkan perhatian.