Teknik Lama, Dikemas Baru
Playing the victim atau berpura-pura menjadi korban adalah strategi psikologis dan diplomatik yang sudah menjadi pola dalam politik luar negeri Israel. Strategi ini dilakukan dengan cara:
1. Melakukan serangan secara ofensif, namun membungkusnya sebagai langkah “defensif.”
2. Memastikan media Barat menyebarkan narasi bahwa mereka diserang duluan.
3. Menciptakan empati dunia internasional, terutama dari sekutu-sekutu utama seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.
4. Menggunakan status korban untuk membenarkan serangan balasan yang lebih brutal.
Jika kita tilik sejarahnya, strategi ini sudah digunakan sejak lama:
• Ketika Israel membombardir Gaza dan membunuh ribuan warga sipil, media menyebutnya sebagai “respons terhadap roket Hamas.”
• Ketika pasukan Israel menembak jurnalis atau paramedis di Palestina, selalu saja muncul pembelaan: “mereka berada di dekat target militan.”
• Ketika anak-anak Palestina mati karena runtuhan bangunan akibat bom, narasinya digeser menjadi: “karena Hamas menyembunyikan senjata di wilayah sipil.”
Kini, pola yang sama diterapkan terhadap Iran!
Dunia yang Terkecoh Narasi
Sayangnya, banyak pihak internasional — termasuk PBB dan media-media mainstream seperti CNN, BBC, dan Reuters — cenderung hanya menyampaikan versi Israel. Dalam berita-berita tersebut, kalimat pembuka yang biasa muncul adalah: “Israel diserang ratusan rudal oleh Iran”, tanpa menyebut serangan awal Israel ke Teheran sebagai pemicu.
Padahal, akar konflik ini sangat jelas: Israel-lah yang menyerang lebih dahulu fasilitas Iran. Dalam hukum internasional, serangan semacam itu bisa dianggap sebagai deklarasi perang. Tetapi dunia menutup mata karena yang menyerang adalah Israel, dan yang diserang adalah Iran — negara yang oleh Barat sering dicitrakan sebagai “pengganggu stabilitas Timur Tengah.”
Playing the Victim Israel yang dilakukan kepada Iran sedikit berhasil di KTT G7 ke-51 di Kananaskis, Kanada (15–17 Juni 2025), walaupun tidak ada Final Comuniqué Bersama
Karena ketidaksepakatan—khususnya kepemimpinan AS di bawah Trump—G7 tidak menerbitkan pernyataan penutup resmi secara keseluruhan. G7 tidak mengeluarkan communique bersama — sinyal ada perpecahan, terutama AS vs Eropa/Jepang. Trump lalu buru-buru pulang lebih dini dengan alasan akan mengurus konflik Iran-Israel yang makin memanas. Setidaknya di KTT G7 ke-51 mengeluarkan sikap dukungan terhadap Israel dan Seruan De-eskalasi Iran : “Israel memiliki hak untuk mempertahankan diri” dan “Iran adalah sumber utama instabilitas regional”. Hal ini nyata Playing the Victim yang dilakukan Israel kepada Iran.