Karenanya, melalui dialog lintas agama, demikian Muh.Adib Abdusshomad, ummat beragama diajak untuk menyelami kedalaman nilai-nilai universal, hingga menemukan resonansinya dalam diri keyakinan lain.
“Jika telah menyelami kedalamam nilai nilai universal, tentunya kita telah menyadari bahwa, kita memiliki tujuan bersama yang lebih besar daripada sekadar perbedaan permukaan,” ujarnya.
Muh.Adib Abdusshomad menambahkan, manfaat lain dari dialog lintas agama melampaui sekadar toleransi.
Toleransi itu, jelasnya, seringkali dipahami sebagai “mentoleransi” atau “membiarkan” perbedaan tanpa perlu memahami. Karenanya, di sisi lain, dalam dialog yang dihadiri generasi millenial itu mengajak semua manusia untuk melampaui batas toleransi pasif menuju pemahaman aktif dan penghargaan mendalam.
Ketika seseorang memahami mengapa tetangganya berpuasa, mengapa temannya melakukan sembahyang dengan cara tertentu, atau mengapa rekan kerjanya merayakan hari raya tertentu, maka disitulah dinding-dinding prasangka akan runtuh. Ketidaktahuan yang melahirkan ketakutan akan digantikan cahaya pemahaman yang menumbuhkan empati.
Muh.Makmun Rasyid melihat, ada kalanya, jalan dialog tidak selalu mulus. Ada kalanya perbedaan doktrin yang mendalam terasa tak terjembatani. Namun, bahkan dalam kondisi demikian, dialog tetap berharga.
Dialog juga mengajarkan tentang “setuju untuk tidak setuju” dengan cara yang bermartabat, untuk menghormati batas-batas keyakinan orang lain tanpa harus mengorbankan keyakinan sendiri. Ia mengubah potensi konflik menjadi kesempatan menampilkan kebijaksanaan dan kematangan spiritual.
Pendeta Bertha melihat, kerukunan dalam perbedaan dalam tradisi dan iman Kristen yang dikutipnya dalam kitab Roma 12 ayat 18 berbunyi ‘Hidup adalah, hidup dlam dalam perdamaian dengan semua orang”.
Di situ disebutkan, kita sedang berbicara bagaimana beragama, melainkan seruan bagaimana seseorang hadir saat ini, bagaimana kita sama sama yakin bahwa bagaimanapun tuhan menempatkan apa yang disebut damai sejahtera.
Menurutnya, hidup dalam damai bukan hanya terjadi begitu saja, melainkan dilandasi komitmen untuk menepati dan komitmen untuk menemukan hidup dalam damai itu sendiri.
“Tentunya, kita bersama sama melihat bahwa, kerukunan adalah buah dari kesadaran akan perbedaaan,” jelasnya.
Bertha juga memaparkan lima poin penting, yaitu makna kerukunan, akar kerukunan, bagaimana pengalaman riel sebagai seorang hamba tuhan –seorang pendeta di tengah tengah melayani jemaah, kemudian tolernasi aktif, dan kesimpulan.