Politisi Golkar itu menegaskan, usulan ini sejalan dengan komitmen Pemerintah Kota Makassar untuk menata kembali seluruh aset daerah, memastikan legalitas dan perlindungan hukum setiap lahan yang digunakan untuk kepentingan masyarakat.
“Kamu ingin memastikan aset daerah terlindungi dan tidak lagi menjadi objek sengketa. Pemerintah hadir bukan hanya untuk membangun, tetapi juga menjaga apa yang telah dimiliki demi kepentingan publik,” tutupnya.
Dalam kesempatan tersebut, Menteri Nusron Wahid secara khusus meminta perhatian kepala daerah untuk memberikan kebijakan afirmatif bagi masyarakat miskin ekstrem dalam hal pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
“Saya minta tolong, Bapak-bapak kepala daerah buatkan peraturan, entah bentuknya Perda atau keputusan kepala daerah,” ujarnya.
“Ini untuk membebaskan BPHTB bagi masyarakat dalam kategori kemiskinan ekstrem mereka yang masuk dalam Desil 1, Desil 2, dan Desil 3 dalam data terpadu kesejahteraan sosial nasional,” lanjut Nusron.
Menurutnya, kebijakan tersebut tidak hanya meringankan beban warga miskin, tetapi juga menjadi ladang sosial dan amal jariyah bagi para pemimpin daerah.
“Kalau itu dilakukan, insya Allah menjadi ladang amal jariyah. Kami di pusat mempermudah sertifikatnya, sementara daerah bisa bantu rakyatnya dengan membebaskan BPHTB,” lanjutnya.
Nusron mencontohkan, beberapa daerah di Indonesia lebih dahulu menerapkan kebijakan serupa melalui peraturan kepala daerah, sehingga proses legalisasi tanah masyarakat berjalan lebih cepat dan efisien.
Selain mendorong pembebasan BPHTB, Menteri ATR/BPN juga menekankan pentingnya pemutakhiran data sertifikat tanah lama yang terbit antara tahun 1961 hingga 1997.
Ia mengungkapkan, sertipikat pada periode tersebut banyak yang belum memiliki peta kadasteral atau belum masuk ke sistem digital nasional, sehingga kerap menimbulkan tumpang tindih data dan potensi konflik pertanahan.
“Sertipikat lama yang terbit antara 1961 sampai 1997 banyak yang tidak memiliki peta kadasteral dan belum masuk database Sentuh Tanahku. Saat diklik di sistem, kelihatannya kosong, padahal tanahnya ada dan dimiliki masyarakat,” jelas Nusron.
Dia menyebutkan, dari hasil pendataan nasional, masih terdapat sekitar 4,8 juta hektare lahan di Indonesia yang berpotensi bermasalah akibat tumpang tindih data sertipikat.
Karena itu, ia meminta pemerintah daerah untuk segera menginstruksikan camat, lurah, RT, dan RW agar masyarakat pemegang sertifikat lama datang ke kantor BPN untuk memutakhirkan datanya.







br






