“Sekda tidak cukup hanya berperan normatif dalam hal penyusunan kebijakan daerah, koordinasi OPD, monitoring-evaluasi dan pembinaan aparatur. Ia harus mampu memimpin konsolidasi birokrasi secara menyeluruh dan mengakhiri polarisasi internal pasca Pilwali,” tambahnya.
Kendati demikian, ia menilai tak dapat dimungkiri, jabatan Sekda memang melalui prosedur berbasis meritokrasi, namun menurut pengamat, aspek politik tetap menjadi variabel yang tak bisa diabaikan.
Meski demikian, selama Sekda dapat menunjukkan kinerja profesional, inklusif, dan mampu menjadi teladan dalam birokrasi, maka dukungan publik akan tetap terjaga.
“Publik hari ini lebih menuntut kinerja nyata daripada narasi. Sekda sebagai pemegang kendali birokrasi harus menunjukkan bahwa ia mampu menyatukan kepentingan, meredam ego sektoral, dan menjadikan birokrasi sebagai alat pelayanan, bukan arena kontestasi,” imbuhnya.
Pelantikan Zulkifly Nanda dinilai menjadi awal yang menentukan, bukan hanya dalam aspek administratif, tetapi juga sebagai simbol rekonsiliasi dan pembaruan tata kelola pemerintahan kota.
Dengan latar belakang panjang sebagai birokrat yang memulai karier dari bawah, publik menaruh harapan bahwa Sekda baru ini mampu menjembatani semua lini, menghapus sekat-sekat kepentingan, dan menggerakkan mesin pemerintahan menuju capaian pembangunan yang lebih optimal.