News  

Malino, Spathodea, dan Cerita Lainnya  

Bunga Spathodea (Spathodea Campanulata) atau Tulip Afrika, didatangkan oleh Belanda dari negara Afrika tropis. Pohon dengan bunga warna merah-orange yang bisa tumbuh hingga setinggi 75 kaki ini, punya banyak sebutan.

Bunga ini biasa pula disebut Kiacret, pohon hujan, muncrat, crut-crutan, atau pacco-pacco. Warna bunganya yang cerah, kontras dengan warna hijau pada daunnya, sehingga dapat dilihat dari jauh. Berdasarkan referensi yang saya baca, bunga Spathodea ini bisa jadi pewarna alami untuk kain.

Pukul 11.05 saya tiba di Hotel Celebes Malino, dan langsung diarahkan menuju ruang Rakerda oleh Bahar Karca, Ketua Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Makassar, yang merekomendasikan saya hadir di acara ini.

Beruntung, saya tidak terlalu terlambat karena masih dapat mengikuti sambutan utuh Ketua DPD PAPPRI Sulawesi Selatan, Dr Ilham Arief Sirajuddin. Saya mengikuti sambutan yang menekankan pentingnya penghargaan atas karya pencipta lagu dan musisi itu, sambil menikmati kopi hangat.

IAS begitu sapaan mantan Walikota Makassar dua periode ini akrab disapa, juga mengajak peserta Rakerda membangun ekosistem musik yang adaptif dan berkelanjutan, termasuk musik tradisional.

BACA JUGA:  Buku Tahun Emas ‘Identitas’ Unhas Terbit

“Belanda dahulu itu, pedestriannya berupa rumput hijau, jadi kalau ada bunga dari pohon Spathodea jatuh, dibiarkan karena justru terlihat indah. Sekarang pedesterian itu sudah dibeton. Spathodea itu berarti air yang muncrat,” cerita Daeng Sayang, kenalan baru, yang juga diundang dari unsur komunitas dalam Rakerda PAPPRI ini.

Saya ngobrol dengan Qashidah Ardan, SH Daeng Sayang dan suaminya, Daeng Nassa, saat makan siang. Kami bertukar pandangan tentang aktivitas kesenian, dan apa yang bisa dilakukan bersama.

Di saat itulah, Daeng Sayang bicara banyak soal Spathodea, bunga yang mempesona, tapi luput saya perhatikan. Beliau bahkan menunjuk bunga itu dari ruang di mana kami duduk ke arah luar jendela. Samar-samar saya melihatnya, tapi terhalang kabut. Hari itu, Malino diguyur hujan.

Qashidah Ardan Daeng Sayang merupakan pegiat seni budaya. Ardan itu merupakan akronim dari nama ayahnya, H Abd Rauf Daeng Nompo Karaeng Parigi. Beliau merupakan tokoh pejuang, dan pernah menjadi Camat Tinggimoncong selama lebih tiga dekade.

Katanya, bunga Spathodea itu merupakan ikon Malino, selain kawasan wisata hutan pinus. Beliau pernah membuat tarian Spathodea yang dibawakan secara massal dengan100 penari di Lapangan Anggrek, Malino.

BACA JUGA:  Nasi Kuning "DPR" dan Es Teh Selepas Jumatan di Masjid Ashabul Jannah DPK Provinsi Sulsel

Tarian Spathodea oleh pelajar yang tergabung dalam Sanggar Seni Bawakaraeng itu diadakan guna memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei 2018. Saat itu, secara kolosal para penari berpakaian hitam dipadu selendang warna orange berlenggok gemulai membentuk formasi estetik.