Di Malino, saat itu, kami mengontak teman yang orang Malino, namanya Mahatma Hafel (Ato). Rupanya dia juga mengajak teman-temannya membantu kami memasang baliho ukuran besar menggunakan bambu yang dipancang dan disandarkan pada tebing agar tidak roboh diterpa angin.
Pengalaman pernah berkunjung ke Malino itu, yang terekam saat melewati bentang jalan dengan pepohonan yang masih hijau di kedua sisinya.
Kadang, mata saya menangkap, ada aktivitas kendaraan berat menggali pasir dan batu untuk keperluan proyek-proyek pembangunan. Pasir dan batu itu diangkut iring-iringan truk, yang kemudian ikut memperlambat laju sepeda motor saya. Perlambatan juga terjadi bila terdapat ruas jalan dengan kondisi yang rusak.
Ketika melewati wilayah Parangloe, teringat buku “Keluarga Pagarra” yang saya tulis, tahun 2021. Buku biografi H Pagarra Daeng Rumpa di antaranya berkisah tentang anggota Polri itu, yang dikaryakan menjadi Camat Parangloe, antara tahun 1978-1985.
Di masa Kapten Pol (Purn) H Pagarra Daeng Rumpa sebagai camat, sejumlah orang penting di masa Orde Baru melakukan kunjungan kerja di Parangloe, di antaranya Menhankam/Pangab, Jenderal TNI M. Jusuf, Menteri Penerangan (Menpen), Ali Moertopo, dan Mendikbud, Daoed Joesoef.
Dua Gubernur Sulawesi Selatan, secara terpisah, juga pernah ke Parangloe, masing-masing H. Andi Odang, dan Prof. Ahmad Amiruddin.
Begitu kendaraan saya memasuki wilayah Parigi, saya langsung teringat Labbiri. Beliau ini guru, pegiat literasi, dan penulis buku dengan tema-tema lokal.
Saya sengaja menepikan sepeda motor yang saya kendarai untuk memotret spot yang bisa ditandai sebagai wilayah Parigi. Ini semacam kode bahwa saya melewati kampungnya, dan akan menuju ke Malino hehehe.
Saya kian bersemangat, setelah singgah di suatu tempat dan bertemu seorang pedagang bakso.
Saya memilih berhenti beberapa jenak untuk meluruskan punggung, sembari menikmati panorama alam dengan layer-layer bebukitan nan indah. Saya bertanya ke pedagang bakso itu, berapa jarak lagi ke Malino. Dia bilang, hanya sekira 15 kilometer saja.
Tak berapa lama, setelah melanjutkan perjalanan ke arah yang akan saya tuju, hawa dingin mulai menyambut. Terlihat hutan pinus yang pucuk-pucuknya melambai, seolah memberi salam selamat datang kepada saya.
Di sisi kiri, saya sempat melirik prasasti Malino 1927, dengan cetakan angka yang cukup mencolok. Angka “1927” merupakan tahun Malino dikembangkan sebagai tempat peristirahatan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Memasuki tahun 1930-an, gereja, pesanggerahan, dan vila-vila dibangun. Juga berbagai ragam bunga ditanam yang didatangkan dari negeri Kincir Angin itu atau dari tempat lain. Jaringan jalan juga dibuat, lalu pedestriannya ditanami bunga Spathodea.