Terkait dengan Lontara, ucap Fifi, sedikit tahu karena sejak Sekolah Dasar dan saat di Madrasah Aliah As’adiyah Sengkang Wajo, di situ belajar “Imaduddin” yakni aksara Lontara yang isinya itu tentang fikih-fikih umum. Di situ dia banyak belajar dan buku tersebut ditulis oleh Pendiri Pesantren As’adiyah Sengkang.
Ketika menjadi Duta Wisata Remaja Indonesia, Fifi pernah berkunjung ke beberapa provinsi. Juga pernah berkunjung ke Tana Toraja. Di daerah ini ada beberapa aksara tidak tahu apa jenisnya. Apakah ‘aksara Serang” atau apa? Kata orang di sana, aksara tersebut belum pernah dikaji sampai sekarang (saat kunjungan Fifi Fitriana). Itu ditemukan di salah satu goa yang ada di Toraja.
“Di sini saya belajar bahwa ternyata walaupun di daerah yang minoritas Islam, juga ada yang menulis aksara seperti itu. Isinya terkait dengan Islam itu sendiri,” ujar Fifi mengkahiri penjelasannya.
Zaidul juga pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pada tahun 2023 termasuk salah seorang peserta. Dia juga pernah melaksanakan magang mandiri Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulsel. Saat melaksanakan magang, seorang peserta diberikan tanggung jawab mentransliterasikan dan menerjemahkan naskah Lontara, baik yang berbahasa Bugis maupun dalam Bahasa Makassar.
“Adapun keahlian saya adalah kerja sama tim, komunikasi, dan juga transliterasi dan penerjemahan naskah,” kunci Idul, panggilan akrab mahasiswa Sastra Daerah FIB Unhas tersebut.
Dr.Sastri Sunarti mengatakan, mahasiswa yang terpilih dalam program ini sangat beruntung karena ternyata BRIN tidak salah pilih.
“Kalian adalah orang yang luar biasa, biodata yang diperlihatkan menunjukkan bahwa ini bukan “kaleng-kaleng” menurut istilah anak muda zaman sekarang. Kalian sudah mengenal lontara itu sejak kecil. Itu sesuatu yang langka,” kata Sastri Sunarti.
Sastri Sunarti selalu khawatir, manuskrip ini akan punah, karena tidak ada penerusnya. Sebab, di BRIN, para periset sudah kepala lima, hampir 70 tahun, karena ada dari beberapa instansi termasuk dari Kemenag yang rata-rata sudah sepuh-sepuh.
“Saya selalu khawatir, siapa lagi generasi kita ini akan jadi penetus, sehingga mencari mahasiswa, calon untuk menjadi periset di BRIN harus sudah doktor. Itu tidak mudah. Tetapi, ada skemanya. Kalau adik-adik berminat, bisa ikut program “degree by research”. Dibiayai riset sambil sekolah oleh BRIN. Dari S-2 dan S-3, mulai dengan sekarang sudah terlibat dengan BRIN dan Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD).














