News  

Catatan dari Gustal (3-Habis): Tas Jadi Pelampung

Pukul 10.00 Wita saat matahari mulai terik, saya dan istri, Prof.Dr.Munira Hasyim, S.S.,M.Hum/Ir.Ahmad Rijal dan keluarga, anak, cucu, dan temannya kembali ke daratan Kota Makassar, ke dermaga di depan Fort Rotterdam. Pengunjung Gustal sudah banyak yang pamit. Pantai itu tidak lama lagi akan sepi, seiring dengan datangnya matahari siang yang terik. Entahlah kalau pada sore hari ada pengunjung yang hendak berkemah dan menikmati suasana malam di Gustal.

Speedboat yang muatannya hanya rombongan kami menjangkau jarak 1,6 km dari Gustal ke dermaga Fort Rotterdam dalam waktu 5 menit saja. Saya tak menoleh ke sebelah kanan depan Pulau Laelae yang menyimpan kenangan 54 tahun silam, saat saya pertama kali turun dari perahu dan naik katinting menuju daratan kota yang baru beberapa bulan berubah nama dari Makassar menjadi Ujungpandang itu.

Keluarga Prof.Munira Hasyim menggunakan satu mobil warna merah, saya dan istri biarkan meluncur lebih dulu sebelum menyeberangi jalan ke depan Fort Rotterdam, tempat mobil saya parkir. Saat hendak menutup pintu mobil, tiba-tiba ada seorang pria setengah umur mencegat.

BACA JUGA:  Ketua Pusat Kajian Kejaksaan Unhas Apresiasi Pemberantasan Korupsi di Pertamina Bernilai 193,7 Triliun

“Maaf, Pak boleh foto dulu. Saya sudah sering membaca tulisannya. Ini Pak….,” katanya memberi tahu temannya yang lain yang ternyata satu mobil sembari menyebut saya. Temannya yang lain kompak merubung saya. Saya merasa bagaikan selebritas saja.

Kami pun dipotret oleh petugas parkir yang dimintai tolong dan dengan setia menunggu kami pulang mengambil mobil masing-masing.

“Saya tetangga Prof.Dr. Abdullah Thalib, S.Ag.,M.Ag. di Paopao,” katanya memberi tahu tanpa diminta. Profesor yang disebut itu adalah Guru Besar UIN Alauddin Makassar.

“Oh…iya, pekan lalu kami bersilaturahim di kediaman Prof.Abdullah,” sahut saya.

Kami pun berpisah. Saya melambaikan tangan ke arah mobil yang mereka tumpangi. Perempuan yang duduk di samping pengemudi membalas, yang ternyata istri Pak Rahmat yang bernama Nurhaeda. Nama ini saya peroleh dari Prof.Abdullah Thalib yang saya kontak setelah tiba di rumah.

“Di mana mereka tahu nama ta,” istri saya bertanya ketika dalam perjalanan pulang.

“Mungkin di media cetak atau di media sosial, entahlah,” kata saya membalas ke-“kepo”-an istri.

BACA JUGA:  Kunjungi DPK Enrekang, Dr. Basri: Jaga Arsip, Menghindari Konflik Perbatasan

“Hari ini saya rasanya seperti pesohor,” saya bergumam saat mobil meluncur laju di Jalan Tol Reformasi balik ke rumah. (*).