“Yang disebut sebagai akar Organisasi Masyarakat Sipil bermula dari kebutuhan untuk tumbuh, hidup, dan bertahan secara kolektif,” ujarnya. Menurutnya, dari kebutuhan itulah masyarakat terdorong untuk mengorganisir diri, membangun sistem pengelolaan yang memastikan keberlangsungan hidup bersama.
Dalam sejarahnya, Organisasi Masyarakat Sipil lahir bukan dari desain negara atau institusi resmi, melainkan dari inisiatif masyarakat itu sendiri. Berawal dari kebutuhan riil untuk menjaga sumber daya, mereka mengembangkan struktur sosial yang mandiri, bertahan dari generasi ke generasi.
Ia mengingatkan bahwa pembangunan komunitas, idealnya harus didasarkan pada tiga elemen utama: sumber daya, organisasi, dan norma. Ironisnya, pada realitasnya pemerintah justru hadir mengubah fungsi dari tiga elemen tersebut.
Di sesi tanggapan, Risvan, Akademisi Unismuh Makassar menekankan perlunya pendekatan berpikir rasional yang lebih mendalam untuk menyelesaikan masalah sosial. “Kita harus berhenti berpikir secara instan dan mulai melihat berbagai aspek sebelum mengambil keputusan,” ungkapnya.
Nurul Fajri, Mahasiswa Pascasarjana Unhas dalam tanggapannya, mengkritisi pendidikan yang terkesan sekuler dan memisahkan agama dari ilmu pengetahuan. Ia menyarankan agar pendidikan agama lebih dimanfaatkan untuk membentuk karakter dan menghindarkan masyarakat dari kekerasan seksual, yang belakangan ini semakin marak, terutama di institusi pendidikan.
Sementara itu, Rahayu menyoroti persepsi masyarakat yang sering menganggap OMS hanya sebatas lembaga yang melakukan survei dan mengurusi politik. Padahal, OMS memiliki peran penting dalam mengawal perubahan sosial dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang isu-isu strategis.
Samsang merespons dengan mengungkapkan pentingnya keterlibatan aktif masyarakat dalam berbagai sektor, termasuk politik dan pendidikan. Ia menyoroti rendahnya persentase keterlibatan perempuan di parlemen meskipun sudah ada afirmasi 30% dalam undang-undang. “Kita perlu terus mengedukasi dan memberikan informasi untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan yang ada,” tegasnya. Ia juga menyoroti kasus-kasus kekerasan seksual di kampus yang kerap disembunyikan atas nama aib institusi.
Sementara itu, Manarangga Amir menutup dengan pesan penting: “Kalau komunitas kehilangan arah, kita yang harus hadir. Bukan untuk menjadi pahlawan, tapi untuk bergandengan tangan mencari solusi bersama.”
Diskusi yang berjalan selama dua setengah jam ini, seperti biasa dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan, baik mahasiswa, dosen, aktivitis lingkungan, dan juga pelaku usaha serta karyawan swasta. (EWD)







br






