Ma’REFAT INSTITUTE Menyoal Pemanfaatan Sumber Daya Alam dalam Proyek Ketahanan Pangan

Program ketahanan pangan yang dicanangkan oleh pemerintah, melalui kebijakan _food estate_ ataupun cetak sawah telah mengabaikan pangan-pangan lokal masyarakat, dan membuat ketergantungan pada beras sebagai sistem pangan utama. “Ini adalah kecelakaan sejarah. Sebelum Indonesia terbentuk, komunitas-komunitas lokal memiliki bahan pangan yang beragam.”

Muadz mengajak peserta melihat beberapa contoh proyek ketahanan pangan pemerintah yang berakhir gagal. Misalnya, proyek _food estate_ di Kalimantan Tengah yang kini dialih fungsikan untuk perkebunan sawit. Juga program seperti di Sumatera Utara, dengan alasan ketahanan pangan, petani setempat menanam komoditi pangan yang tidak mereka konsumsi, yaitu kentang. Begitu pula yang terjadi di Papua Selatan, penanaman padi sawah yang sama sekali bukan makanan pokok masyarakat setempat. “Pertanyaanya, untuk siapa proyek ketahanan pangan ini?” Muadz Ardin mengakhiri sesinya.

Kedua narasumber mempersoalkan cara pandang negara tentang tanah dalam program ketahanan pangan. “Kita, akademisi ilmu tanah, tidak memandang tanah itu sebagai benda mati,” tutur Syamsul Arifin. Tanah adalah benda hidup yang sama dengan air, juga udara. Program ketahanan pangan yang menggenjot peningkatan produksi, tidak lagi memandang tanah sebagai benda hidup.

BACA JUGA:  Kampus Relawan Rumah Zakat Adakan Pelatihan Medical First Responder (MFR) Bersama Sulsel Peduli dan Kementerian Kesehatan

Bagi Muadz Ardin, kesalahan pemerintah adalah memandang tanah-tanah yang dijadikan areal _food estate_ sebagai tanah kosong, tak bertuan. “Padahal di Indonesia ini, di setiap wilayah ada komunitas-komunitas lokal yang mendiami.”

Pada sesi tanggapan, salah seorang peserta menyoroti, apakah pelaksanaan program ketahanan pangan ini memang sebatas proyek saja? Dengan berbagai slogan yang hadir hanya untuk meninabobokan masyarakat. Mungkinkah ketahanan pangan ini dicapai, sementara kedaulatan kita tidak ada?

Menanggapi hal tersebut, Syamsul Arifin mengungkapkan bahwa Indonesia diklaim telah mencapai swasembada pangan pada tahun 1984. Hal ini dicapai melalui proyek cetak sawah yang dilakukan sebanyak-banyaknya, dan penggunaan input kimia agar produksi terus meningkat. Akhirnya, _booming_ produksi dianggap sebagai swasembada pangan, padahal itu tidak berkelanjutan. “Kalau kita pernah swasembada pangan, hari ini kita juga harusnya masih swasembada pangan. Begitu konsepnya.”

Sebagai pernyataan penutup, Syamsul Arifin dengan mengungkap, “Program ketahanan pangan pemerintah itu _nonsense_. Segala sesuatu yang ditarget, itu proyek, artinya tidak berkelanjutan.”

Muadz mengajukan kembali kasus di Sumatera Utara. Mereka adalah petani yang menanam kemenyan, tetapi melalui program _food estate_ mereka dipaksa untuk menanam kentang, yang berakhir gagal. “Pada akhirnya, petani-petani di sana sebagaian besar adalah peminjam modal di bank, dan banyak dari mereka yang kehilangan tanah.”