Ma’REFAT INSTITUTE Mempertanyakan “Kesaktian” Pancasila

Sebagai penanggap, Arifin mengajukan kritik yang lebih struktural. Selama 21 tahun bekerja di birokrasi, ia mengaku tak pernah menemukan kosa kata Pancasila digunakan dalam dokumen perencanaan negara. “Narasi-narasi Pancasila tidak ditemukan dalam proses perencanaan,” katanya.

Ia mencontohkan bagaimana konsep “Profil Pelajar Pancasila” yang digagas Menteri Pendidikan Nadiem Makarim hanya berhenti di level teknis dan sulit diwujudkan dalam kebijakan pendidikan yang konkret dan komprehensif.

Arifin juga menyebut bahwa Pancasila di birokrasi kini direduksi menjadi syarat administratif. “Saya mencari kata Pancasila di dalam pemerintahan, ternyata hanya ditemukan dalam kualifikasi calon pemimpin daerah. Pancasila diturunkan maknanya menjadi sebatas sifat,” ujarnya. Menurutnya, tidak ada narasi Pancasila dalam kebijakan sektor kesehatan, pendidikan, atau tata kelola ekonomi daerah.

“Kita terlalu lama dininabobokkan oleh korupsi pejabat publik,” Hasrullah memberikan tanggapan. Ia menekankan, sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” artinya, bertentangan dengan monopoli kekayaan oleh pejabat publik hari ini, dan juga berarti tidak boleh ada pejabat yang menguasai tambang. Ia menyoroti perlunya mengembalikan semangat Konstitusi UUD 1945. “Penting sekali untuk kita kembalikan pada Pasal 33 bahwa implementasinya pada kepentingan bersama. Pemerintah harus membangun perekonomian berdasarkan pasal ini, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

BACA JUGA:  Program Literasi, Cara Rumah Zakat Cerdaskan Generasi

Muttaqin menutup sesi diskusi dengan pernyataan tegas, “Ideologi Pancasila saat ini, tidak bisa kita pungkiri masih dianggap dogma.” Menurutnya, untuk menghindari hal itu Pancasila harus dipahami dengan pendekatan falsafah, sehingga memberikan ruang bagi kita untuk terus mempertanyakan, mengujinya, dan menafsir sesuai dengan konteks yang dihadapi. “Inilah poin penting Pancasila, tidak sekadar sebagai dasar negara, tetapi sebagai sebuah falsafah yang harusnya menjadi pandangan hidup negara,” pungkas Muttaqin.

Diskusi berlangsung riuh, dengan dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan, baik mahasiswa, dosen, ASN, aktivis lingkungan, dan juga pelaku usaha serta karyawan swasta. (RW)

br
br