Ma’REFAT INSTITUTE, Kritisi Krisis Lingkungan

NusantaraInsight, Makassar — Ma’REFAT Institute (Makassar Research for Advance Transformation) kembali menyelenggarakan kegiatan Ma’REFAT INFORMAL MEETING (REFORMING#6). Kali ini mengangkat tema “Telaah Atas Krisis Lingkungan dan Fenomena Bencana di Sulawesi Selatan”, yang diselenggarakan pada Ahad 22 Oktober 2023 di Kantor LINGKAR-Ma’REFAT Kota Makassar. Diskusi ini mengundang dua narasumber sebagai pemantiknya; Prof. Dr. Muhammad Alif K. Sahide yang merupakan Akademisi dan Guru Besar Universitas Hasanuddin, serta Muadz Ardin selaku pegiat Non-Governmental Organization LINGKAR Sulawesi (Lembaga Inisiasi Lingkungan dan Masyarakat).

Membuka pemaparannya, Prof. Muhammad Alif menjelaskan kondisi makro politik yang melatari kebijakan lingkungan secara nasional di Indonesia. Dimulai dari UU Pokok Agraria tahun 1960. Sebagai warisan post-colonial, UU ini dianggap sebagai buah perlawanan terhadap kolonialisme atas penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia. Dengan semangat nasionalisasi aset, UU yang diterbitkan pada masa pemerintahan Sukarno tersebut, mengatur dasar-dasar dan ketentuan tenurial (penguasaan), penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria nasional. UUPA juga dianggap visioner karena memberikan hak dan penghargaan kepada masyarakat adat.

BACA JUGA:  LOKADESA Bahagiakan Lansia di Hari Pangan

Dalam perkembangannya, pergantian kepemimpinan dan rezim pemerintahan turut memengaruhi kebijakan lingkungan. Salah satu bentuknya, UU Pokok Kehutanan tahun 1967 yang diterbitkan pada masa Orde Baru. UU ini memuat tentang pengaturan “2 land system”, yang membagi wilayah menjadi 2 (dua) kawasan yaitu kawasan hutan, dan kawasan non hutan. Sehingga pada saat itu, 70% wilayah Indonesia terhitung sebagai kawasan hutan.

UU ini bukannya tanpa masalah. Karena, pada masa Orde Baru proses penentuan kawasan hutan, semata berdasarkan kriteria fisik saja. Selain itu, penentuan kawasan hutan dilakukan tanpa melalui konsultasi publik. Proses ini mengabaikan kriteria hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang sudah lama mendiami kawasan tersebut, sehingga akhirnya kebutuhan masyarakat terhadap hutan tidak dapat diakomodasi. Sederhananya, melalui UU ini masyarakat dipisahkan dari hutan yang menjadi akar dan penghidupan mereka. Dan pada akhirnya, kawasan hutan menjadi sebatas yurisdiksi semata, bukan sebagai fungsi.

“Hasilnya pada kondisi hari ini, kita mengalami ‘politik keterlanjuran’ yang sangat kompleks yang sangat susah diurai.” Tegas Guru Besar bidang Politik dan Kebijakan Kehutanan ini.

BACA JUGA:  Kartini Membawa Secarik Niat, Gengsi yang Disimpan

Menyambung pemaparan tersebut, Muadz Ardin memberikan pandangannya, bahwa disebabkan paradigma pembangunan pada masa Orde Baru, dengan tujuan agar pendapatan perkapita meningkat, maka diperlukan investasi dari perusahaan besar yang diharapkan memengaruhi dan memberikan trickle down effect kepada masyarakat. Namun realitasnya tidak demikian. Yang terjadi justru sebaliknya. Sayangnya, semangat Orde Baru ini dihidupkan kembali dengan diterbitkannya UU Cipta Kerja yang membuka ruang investasi sebesar-besarnya dan memberikan kemudahan izin pertambangan.