Ma’REFAT INSTITUTE Bahas Masalah Pembangunan dan Politik Kekuasaan di Indonesia

Ma'refat institute
Ma'refat institute

Saya ingin mencoba melihat politik di Indonesia dengan analogi politik percaturan. Begitu Andi Manarangga Amir memulai percakapan. Sebelum era reformasi, sebagai fasilitator komunitas pada masyarakat. Hal yang terlihat adalah peran masyarakat dalam kontestasi politik masih sangat antusias pada awal-awal reformasi. Namun, setelah memasuki beberapa fase pasca reformasi, kecenderungan keterlibatan politik masyarakat berubah dari partisipasi menjadi mobilisasi. Jika dulu masyarakat ketika menjalankan kehidupan di desa begitu damai. Tapi dengan sampainya kontestasi politik pada saat ini, akhirnya mereduksi kehidupan gotong royong yang kental pada masyarakat.

Problem lainnya, adalah cara berpikir pragmatis yang menghinggapi sebagian masyarakat kita, yang disebabkan karena kehilangan orientasi. Seiring dengan fenomena kehilangan orientasi inilah, yang berimplikasi pada ketidakjelasan proses pembangunan dan proses politik secara nasional, lalu kemudian berkembang secara lebih luas ke berbagai dimensi kehidupan bernegara dan berbangsa hari-hari ini. Para elit politik, setiap saat menyajikan secara kasat mata kepada publik, betapa mereka sudah kehilangan dan tak memiliki nilai-nilai lagi. Kita tidak menemukan lagi nilai-nilai substansial yang melekat dan terpatri pada sanubari mereka, yang dapat menjadikannya sosok teladan dalam kancah perpolitikan di negeri ini, sebagaimana tokoh-tokoh bangsa dan politisi awal, seperti; HOS Cokroaminoto, Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, H, Agussalim, M. Natsir dan lain-lain.

BACA JUGA:  Komunitas Pintu Literasi Indonesia Rutin Gelar Sedekah Duafa

Perpolitikan yang menjadi hegomoni dalam masyarakat adalah permasalahan masyarakat Indonesia saat ini. Terlebih lagi, saat paradigma pembangunan sekarang berorientasi pada paradigma keberlanjutan. Di mana pada aspek implementasinya, hanya sebatas slogan dan retorika. Pola politik transaksional seakan-akan tak mampu lagi melihat bahwa elemen-elemen penyelenggara negara sudah tidak bisa lagi menjalankan pembangunan. Sehingga, hal ini membuat kita senantiasa melakukan refleksi sembari bertanya, ke arah mana negara ini, sesungguhnya mau dibawa, ungkap aktivis NGO ini mengakhiri.

Dengan demikian, inti dari suatu kekuasaan adalah keadilan dan kebenaran. Pemegang kekuasaan yang baik adalah manusia yang baik, dan karenanya menghasilkan kebaikan berupa tegaknya kebenaran, tersingkirnya kejahatan, terselenggaranya keadilan, ketenteraman, kesejahteraan serta keamanan hidup.

Di atas semuanya itu, dalam ungkapan Prof.Nurcholish Madjid, diperlukan kepemimpinan yang otentik, baik dari segi wawasan kenegaraan maupun, lebih-lebih lagi, dari segi komitmen moral kemasyarakatan atau civic morality. Tanpa kepemimpinan yang otentik itu, komunikasi politik vertikal dan horizontal akan tidak efektif atau bahkan macet, sehingga seruan membangun kembali ekonomi dan politik nasional dengan ajakan keprihatinan dan pengorbanan umum, tidak akan mendapatkan sambutan yang diperlukan. Semoga negeri tercinta ini, akan baik-baik saja di waktu mendatang. [*]

br