Menurutnya, rangkaian peristiwa pidana harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh antara sebab dan akibat. Karenanya ia pun secara gamblang menggambarkan bahwa tindak pidana yang terjadi pada kasus kematian Almarhum Virendy adalah perbuatan ‘Dolus Eventualis’. “Ada bentuk hukuman secara fisik yang diberikan kepada korban sehingga bersangkutan kehilangan nyawanya. Dalam hukum pidana hal itu sebagai bentuk atau unsur kesengajaan. Tergolong penganiayaan yang menyebabkan mati. Ini pendapat saya di penyidik,” ucapnya.
Pada kesempatan itu, hakim Khairul, SH, MH yang memimpin persidangan juga mencecar pertanyaan mengejar soal pertanggungjawaban pidana dimana kegiatan tersebut mendapat rekomendasi dan merupakan kegiatan resmi, apakah pihak institusi juga harus bertanggungjawab ? Ahli pidana dari Universitas Indonesia ini pun menjelaskan bahwa Ia memberi batasan cakupan tindak pidana dimana yang dimaksud dalam konteks kasus kematian Virendy adalah ‘Direct Evidence’ atau bukti langsung yang terkait dengan tindak pidana, terkecuali dalam tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Namun dia tidak menampik soal kewenangan hakim untuk menjatuhkan vonis berdasarkan fakta-fakta persidangan.
Terdapat perdebatan yang cukup sengit antara salah seorang hakim anggota dengan saksi ahli tersebut. Dimana hakim termaksud mengatakan bahwa korban telah menandatangani surat persetujuan untuk mengikuti kegiatan Diksar & Ormed itu. Kemudian hakim lainnya mempersoalkan mengenai para pelaku yang tidak bersentuhan langsung dengan korban sebab tidak berada di lokasi saat peristiwa pidana ini terjadi.
Menanggapi hal itu, kembali Dr. Eva menegaskan bahwa keseluruhan peristiwa pidana harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dan bukan bagian yang terpisah-pisah, sehingga argumentasi mengenai surat persetujuan tidak dapat dijadikan dasar untuk menghapus pidana. Karena ini merupakan satu rangkaian kegiatan, maka pertanggungjawaban pidana dalam peristiwa kematian Virendy ini harus dilihat dari konteks penyebabnya. Apakah dimulai dari institusi yang mengeluarkan rekomendasi atau izin kegiatan, kemudian pihak yang sudah mengetahui anak itu sakit tetapi malah diberikan hukuman fisik dan tidak pula segera memberikan pertolongan. Apalagi tidak memadai tersedianya sarana dan prasarana kesehatan dalam pelaksanaan kegiatan itu. Juga posisi terdakwa sebagai ketua organisasi dan ketua panitia meski tidak ada kontak langsung dengan kejadian tersebut.
“Dalam situasi dan kondisi korban sudah tidak sanggup lagi mengikuti kegiatan Diksar & Ormed itu, seharusnya para terdakwa mengambil keputusan untuk menghentikan aktivitasnya, bukan justru memberikan lagi hukuman fisik. Sehingga tampak disini yang dilakukan para terdakwa adalah kesengajaan dengan sadar kemungkinan atau ‘Dolus Eventualis’, yang mana mereka mengambil keputusan dengan resiko yang luar bisa dan mengakibatkan korban kehilangan nyawa,” sambungnya.