Behind The Scene
Ternyata tulisan Surat Cinta Untuk Suami ini banyak cerita menarik dibelakang layar.
Seperti yang dikisahkan oleh kurator tulisan ini, Buku setebal 130 halaman ini memuat 27 tulisan, yang mana 3 tulisan dari sang kurator sendiri dan 24 tulisan dari para ibu-ibu dengan berbagai kisah.
Rahman Rumaday atau Bang Maman sang kurator mengatakan bahwa 24 tulisan dari ibu-ibu yang sehari-harinya bergelut dengan bumbu dapur dan daster sobek ini merupakan tulisan asli mereka sendiri.
“Saya hanya mengedit beberapa saja yang saya anggap perlu dan yang mana tidak boleh dipublish,” ungkap pria berkacamata ini.
“Bahkan ada tulisan yang tak layak untuk ditampilkan yang jika dibiarkan akan menimbulkan persepsi negatif, ini semua saya pangkas dan saya ambil sebagian saja,” tuturnya.
“Bahkan ada juga yang menuliskan rasa ego seorang suami kepada istri yang mana itu juga tidak saya tampilkan, karena menyangkut nama baik dari suaminya. Itu semua yang menjadi kendala dalam penulisan Buku Surat Cinta Untuk Suami ini,” tuturnya.
Bukan itu saja, lanjut pria kelahiran Pulau Gorom Maluku ini, tulisan ini cukup lama terkumpul karena saya menunggu surat-surat yang masuk.
“Bahkan saya ultimatum bahwa, jika tulisan ta yang belum masuk maka saya tidak cetak buku ini, jadi kita yang menghambat tulisan ibu-ibu lain dicetak, sehingga semuanya bisa kita bukukan,” terang Maman.
Ia juga menjelaskan bahwa, tulisan ini bukan tulisan pertama, karena sebelumnya ada tulisan bagaimana cara bertahan hidup di masa pandemi Covid 19.
“Juga ada tulisan anak-anak bagaimana dia menuliskan sekolah di masa pandemi dan saya juga mengajarkan bagaimana menuliskan sesuatu yang mereka lihat mereka rasa ketika kita ada kunjungan wisata,” pungkasnya.
Apresiasi dari Tokoh
Ishakim (Seniman Lulusan IKJ)
“Bagaimana seorang istri yang menghadapi suami sering rewel dan dapat menghasilkan karya Surat Cinta Untuk Suami. Dimana ibu adalah guru pertama dari seorang anak.”
Rusdin Tompo (Koordinator Satupena Sulsel):
“Teruslah menulis, Karena tulisan itu abadi.”
Prof. Kembong Daeng (Guru Besar UNM):
“Saya kagum dengan ibu-ibu yang menghasilkan karya. Dan saya tantang ibu-ibu untuk menulis Kelong dari bahasa Makassar dan saya siap membantu.”
Andi Ruhban (Akademisi)
“Sukses, dan saya akan bicara terkait ini dengan Maman.”
Maysir Yulanwar (Sastrawan)
“Keren.”
Rusdi Embas (Jurnalis)
“Buku ini ditulis dengan hati.”
Syahrilrani Patakaki (Penyair).
“Foundernya hebat.”