Menulis Sebagai Panggilan

Dalam forum yang didukung Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Sulawesi Selatan, Jariah Publishing, K-Apel, dan Berita Kota Makassar (BKM) sebagai media partner itu, saya lebih memberi apresiasi pada pejulis. Ada istilah menarik dari Prof Rhenald Kasali, dalam kanal YouTube-nya, ketika membahas Putri Ariani, Finalis America’s Got Talent 2023. Akademisi dan praktisi bisnis yang produktif menulis itu menggunakan istilah “calling” (panggilan) yang, menurutnya, lebih dari sekadar passion.

Passion itu dimaknai sebagai gairah, antusiasme, semangat, dan kegembiraan yang kuat terhadap suatu kegiatan tertentu. Semacam habitus. Saya sendiri menilai “calling” itu sebagai tanggung jawab. Ada pengabdian, dedikasi, dan semangat volunterisme.

Saya dalam forum itu membuat tahapan seseorang menulis. Paling tidak, ini berdasarkan pengalaman saya dan hasil bacaan lingkungan sekitar. Pada tahap awal orang menulis, dia masih bertanya mau menulis apa, dan bagaimana memulainya. Pada tahap berikut, menulis jadi kebiasaan, jadi rutinitas, jadi hobi. Dia bisa dan terbiasa menulis apa saja.

Tahap selanjutnya, menulis sebagai profesi. Ini pilihan dan jalan hidup, yang tak cuma menghasilkan tapi juga berpenghasilan dari pekerjaan menulis. Tahap ini, dia memasuki wilayah. Dia bisa saja menyasar ceruk segmen tertentu, melakukan diferensiasi, atau seorang penulis generalis dengan insting pasar yang bagus. Pada kasus tertentu, penyebutan penulis profesional diartikan ada label harga di situ. Walaupun karena jasanya bersifat personal maka tidak ada patokan angka pasti.

BACA JUGA:  Makassar, Ewako ! Audisi Indonesian Idol XIV Segera Hadir di Kotamu

Nah, tahap berikut inilah yang saya kelompokan menulis sebagai “calling”, dengan meminjam istilah Prof Rhenald Kasali itu. Tahap ini, tak ada lagi sekat menulis sebagai hobi, passion, atau profesi. Dia menulis bukan hanya untuk eksistensi dirinya tapi melihat kebermanfaatannya. Dia bisa saja mengungkap sesuatu yang belum tersingkap, memperkenalkan sesuatu yang memang layak untuk diperkenalkan lewat tulisan. Begitu hasil tulisannya dimuat, mereka yang namanya ada dan disebut dalam tulisannya bahagia. Mungkin pula bakal berdampak positif.

Pada tahap apa pun kita menulis, sejatinya perlu ada riset ada refrensi. Karena di situlah basis argumentasi kita. Meski nanti diolah dalam gaya bahasa sendiri. Setiap tulisan sebaiknya mengandung pencerahan yang diberikan lewat sajian yang gurih bergizi, kaya data, juga punya sudut pandang yang segar. Namun, tentu semua butuh proses, tak bisa instan. Menulis bukan serupa bikin teh seduh atau menuangkan kopi saset. Yang pasti, kita butuh tulisan yang hangat dan nikmat dibaca. (*)