Dari Harian Pedoman Rakyat, Saya Kenal Amitabh Bachchan

Harian Pedoman Rakyat
Harian Pedoman Rakyat

NusantaraInsight, Makassar — 1 Ramadhan 1446 H atau bertepatan pada 1 Maret 2025, tepat 78 tahun lalu lahir koran perjuangan Harian Pedoman Rakyat. Begitu yang saya baca dari isi percakapan WA ku bersama Kak Ardhy M Basir.

Kak Ardhy yang sering saya usik dengan panggilan Karaeng itu, mengirimkan tulisannya tentang Pedoman Rakyat yang berjudul Hari ini, 78 Tahun Silam. Di caption berikutnya Karaeng Ardhy meminta saya menulis tentang Pedoman Rakyat. Isinya kurang lebih seperti ini, (tapi karena ini puasa saya maka saya terus terang bahwa percakapan ini saya kurangi) :

“Andi Awing, bisa bikin berita 78 tahun Pedoman Rakyat,…..,” tulis Karaeng.

Saya jawab: “ini ji dulu saya muat opini ta, nanti saya buat opini ku.”

Pikiranku melanglang jauh menembus chip memori software di kepala. Karena tak bisa dipungkiri sewaktu saya pandai membaca dulu, koran pertama yang menjadi bacaanku adalah Harian Pedoman Rakyat yang kebetulan Almarhum Ettaku (ayahku) berlangganan.

Dari sinilah saya diperkenalkan dengan dunia baca membaca dan mungkin juga bibit menjadi jurnalis (firasatku berkata demikian) yang kemudian membuatku sering melahap bacaan apapun, selain Pedoman, yang jadi bacaanku adalah Panji Masyarakat dan tentu tak boleh di kesampingkan Cerita Silat karya Asmaraman S. Kho Ping Ho.

BACA JUGA:  Kota Pala Kota 1000 Kenangan

Kebetulan sekali, rumahku bertetangga dengan pegawai Pedoman Rakyat bagian Periklanan yaitu Almarhum Usman Sanaky dan kebetulan sekali saya berteman dengan kedua putranya Asmadi dan Asri Sanaky.

Biasanya, pagi hari sebelum berangkat di sekolah, tugas rutin yang diberikan Ettaku itu adalah mengambil koran di rumah Almarhum Usman Sanaky. Dan sebelum Ettaku yang baca berita hari itu, saya yang paling pertama membacanya. Bahkan terkadang saya baca dulu di rumah Om Usman-demikian biasa saya sapa baru saya bawa ke rumah.

Ada yang menarik, yang mungkin menjadi “hubungan tanpa status ku” dengan Pedoman Rakyat terjalin. Yang mana setiap hari Minggu jika saya bersama teman kompleks ingin merasakan sensasi menonton di bioskop. Saya sering membujuk Asmadi Sanaky untuk meminta memo kepada ayahnya (Om Usman) agar dapat menonton gratis.

Terkadang saya dan beberapa teman menunggu di teras rumahnya untuk menunggu persetujuan.

“Bapak mau ka nonton dengan teman ku,” minta Asmadi kepada ayahnya.
“Berapa orang,” tanya ayahnya. Jika mendengar ini, kami terasa mendengar angin surga, karena terkadang ayahnya juga menolak memberikan.
“Empat orang ka,” jawab Asmadi.
Mendengar kata empat orang keluar dari mulut Asmadi, kami bertiga di depan teras mendongak ke dalam rumah, ingin rasanya cepat mendapatkan tiket.