Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)
NusantaraInsight, Makassar — Daeng Pamatte pernah diabadikan sebagai salah satu nama jalan di Kota Makassar. Dalam buku “Pedoman Kota Makassar”, terbitan Agustus 1954, nama Jalan Daeng Pamatte itu merupakan nama lama Jalan Manggis. Dari daftar nama-nama jalan yang dimuat dalam buku tersebut, terdapat sekira 400 nama jalan yang mengalami perubahan atau pergantian. Menukil Ahmad Dara Sjahruddin, Walikota Makassar (1952-1957), dalam sambutan buku itu mengatakan bahwa buku ini penting agar kita dapat meninjau perkembangan perdagangan dan perekonomian pada umumnya, pendidikan dan pengajaran, sejarah, kebudayaan, dan pergolakan politik.
Pergantian nama-nama jalan di era itu, merupakan sebuah keniscayaan. Karena, menurut Kepala Jawatan Penerangan, M Reza, dalam buku yang sama, Kota Makassar mengalami pertumbuhan dan kemajuan yang pesat. Sehingga perlu “pedoman kota” untuk mempermudah hubungan dan mempermudah orang menemukan alamat dari jawatan, instansi, organisasi, dan perusahaan. Apalagi, baru saja dilakukan perubahan nama jalan secara besar-besaran.
Tokoh Literasi
Tulisan ini bukan hendak mendebat pergantian Jalan Daeng Pamatte menjadi nama Jalan Manggis. Namun, tentu kita jauh lebih memuliakan seseorang yang memiliki ketokohan dibanding sekadar nama buah. Nama buah yang bisa ada di mana-mana, tidak spesifik merujuk pada daerah ini. Beda dengan nama Daeng Pamatte, seorang tokoh literasi yang menghasilkan buku Lontaraq Bilang dan namanya selalu dihubungkan dengan aksara Lontaraq.
Daeng Pamatte lahir di Kampung Lakiung, pada Abad XVI. Dia merupakan tubaji (orang baik-baik), yakni strata sosial orang merdeka yang lebih tinggi dibanding tusamara’ atau orang kebanyakan. Dia seorang cerdik pandai, sehingga Raja Gowa IX, Karaeng Tumapa’risi Kallonna (1512-1546), mengangkatnya sebagai Sabannara (Syahbandar). Selain itu, dia juga dipercaya menjabat sebagai Tumaila’lang (Menteri Dalam Negeri). Sebagai Sabannara, Daeng Pamatte bertanggung jawab mengatur perdagangan di pelabuhan dan menjadi perantara antara penguasa Gowa dengan bangsawan-bangsawan lainnya.
Prof Ahmad M Sewang (uin-alauddin.ac.id), penulis buku “Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI Sampai Abad XVII” (2005), mengemukakan, dia pernah membaca Lontaraq Bilang di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh A. Ligtvoet. Lontaraq Bilang, yang diperkirakan ditulis oleh Daeng Pamatte itu, memuat peristiwa-peristiwa penting dan catatan harian Kerajaan Gowa-Tallo, dalam kurun waktu pertengahan Abad XVI sampai pertengahan Abad XVII. Namun, kronik Kerajaan Gowa-Tallo itu sudah beberapa kali mengalami rewriting, dilengkapi dengan penanggalan hijriah dan ditulis dalam huruf Serang pada masa Sultan Malik as-Said (1639-1653), Raja Gowa XV. Patturioloang Gowa menyebut bahwa Daeng Pamatte ampareki Lontara’ Mangkasaraka (yang membuat Lontaraq Makassar).