Menolak Lupa, Serangan Umum 1 Maret 1949

NusantaraInsight, Yogyakarta — Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang terjadi pada tanggal 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Serangan ini telah dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng.

Seperti dilansir dari Wikipedia, serangan ini bertujuan untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik indonesia masih ada dan cukup kuat, dengan harapan dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB.

Perundingan tersebut memiliki tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan.

Soeharto pada waktu itu menjabat sebagai Komandan Brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.

Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada Desember 1948, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mulai menyusun strategi untuk melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda. Strategi tersebut antara lain dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan Kereta Api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan lainnya.

BACA JUGA:  Mumi Berusia Ratusan Tahun Dipamerkan di Unhas

Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos di sepanjang jalan-jalan besar penghubung kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil di seluruh daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaan pasukan Belanda yang sudah terpencar-pencar, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mulai melakukan serangan terhadap Belanda.

Mulai Menyusun Kekuatan

Sekitar awal Februari 1948, di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr.Wiliater Hutagalung – yang diangkat sebagai Perwira Teritorial sejak September 1948, ditugaskan untuk membentuk jaringan persiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III. Ia bertemu dengan Panglima Besar Sudirman untuk melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.