Jejak Waktu dalam Sarung Asia Ramli

NusantaraInsight, Makassar — Performance “Jejak Waktu dalam Sarung” Asia Ramli merupakan bagian dari pertunjukannya yang berjudul “Kedatangan dalam Bungkusan” pernah ditampilkan dalam Monolog 5 Negara pada Kuala Lumpur International Festival 2015.

Jejak Waktu dalam Sarung sebagai simbol kehidupan dipresentasikan pada hari Sabtu, 22 November 2025 di ruang publik (Nipa Mall (11.30, Pantai Losari16.00, dan Dewan Kesenian Sulawesi Selatan 19.00 ) dalam rangka Makassar Bienale. Performa ini dimainkan oleh Asia Ramli, Andi Taslim Saptra, Jumaris, Januari, Resmi Surendra, Ariel Ainun Chandra.

Menurut Asia Ramli, “Jejak Waktu dalam Sarung” sebagai simbol yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Sarung menghubungkan kita dengan leluhur, tradisi, dan budaya.

Dalam tradisi Bugis-Makassar dan bahkan Indonesia, perempuan maupun lelaki, sangat dekat dengan sarung. Sarung memperlihatkan konsep ruang dan tubuh dalam dua lubang, vertical maupun horizontal.

Sarung memfasilitasi tubuh yang bekerja, berjalan, tubuh yang membangun hubungan social, tubuh yang tidur hingga tubuh yang melakukan ritual. Fungsi maupun sifat sarung yang multi-dimensi, ikut membentuk filosofi tubuh dalam masyarakat Bugis-Makassar: sarung sebagai pakaian, sebagai rumah, sebagai alat kerja dan sebagai kosmologi. Jejak Waktu dalam Sarung membawa kita ke masa lalu dan menghubungkan kita dengan generasi mendatang.

BACA JUGA:  Pementasan Langen Mataya Bedhaya Gandrungmanis yang Punah, Naufal Anggito Yudhistira Garap Enam Naskah

Menurut kurator, Irfan Palipui, Performance “Jejak Waktu dalam Sarung” Asia Ramli adalah sebuah intervensi yang menggeser pemahaman atas sarung. Alih-alih melihatnya sebagai simbol kehidupan, performa ini membongkarnya sebagai sebuah ‘assemblage’ (rangkaian)—sebuah mesin fungsional yang aktif.

Performa ini mengeksplorasi bagaimana assemblage sarung menciptakan “ruang” bagi tubuh. “Dua lubang” yang disebut adalah fasilitator bagi sebuah “Tubuh tanpa Organ”—tubuh yang didefinisikan oleh apa yang bisa dilakukannya (intensitas). Di dalam sarung, tubuh-bekerja, tubuh-tidur, dan tubuh-ritual adalah intensitas berbeda pada bidang yang sama. Sarung adalah “selubung” yang memungkinkan tubuh-Bugis-Makassar menjadi (becoming) beragam fungsi. “Jejak Waktu” dalam konsep ini juga bersifat merimpang (rhizomatik), bukan representasional.

Sarung tidak mewakili masa lalu atau leluhur; ia adalah konektor yang membuat “pengalaman hidup, kenangan, dan warisan leluhur” hadir dan aktif di masa kini. Saat dikenakan dalam performa, ia adalah sebuah ‘menjadi-leluhur’ (becoming-ancestor) yang berlangsung saat ini juga.