Denyut Kehidupan di Car Free Day (7): Warna Warni Kehidupan CFD

Fahry Muhammad
Prodi Ilmu Komunikasi FISIP/Magang ‘identitas’

NusantaraInsight, Makassar — Mentari bersinar terang dan hangat yang menghujam bumi. Suara burung di pagi hari menemani langkah magang dan kru Penerbitan Kampus (PK) identitas Universitas Hasanuddin (Unhas) yang berburu waktu.

Langkah yang ramai dan tegas itu bersama-sama menuju sebuah keramaian, Keramaian yang rutin terjadi di setiap hari Minggu, Car Free Day (CFD) Boulevard.

Kami menuju CFD sekitar kurang lebih 20-an orang. Namun setibanya di sana, kami dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri atas 6-5 orang. Tujuan ke sana sama sebenarnya untuk memperhatikan aktivitas di CFD.

Ini bagian dari penugasan kegiatan Pendidikan Dasar Jurnalistik yang digelar oleh identitas Unhas.

Setelah mengamati, kita ditugaskan menulis menggunakan gaya penulisan feature. Di jalan menuju CFD, saya melihat beberapa tukang parkir yang sedang mengatur motor dari para pengunjung. Sekali-kali mereka menghisap tembakau yang terlilit kertas putih dan bermain ponsel. Namun jika pengunjung baru datang, mereka dengan sigap langsung mengarahkannya.

BACA JUGA:  Inilah Prestasi Tingkat Kabupaten dan Provinsi Diraih MA Izzatul Maarif Tappina Polman

Ada juga sepasang anak muda (yang sepertinya sepasang kekasih) yang sedang bingung mau cari jajan apa. Karena memang di sana banyak penjual makanan.

Baik makanan Timur Tengah seperti kebab dan nasi. Makanan Korea seperti kimbab hingga jajanan tradisonal seperti buroncong dan kue cantik manis. Wajar jika para pengunjung merasa kebingungan memilih makanan mana yang akan disantap.

Sesampai di pusat keramaian, kedua mata ini langsung terpana akan begitu banyak manusia di sana.

Ada sekelompok perempuan paruh baya yang sedang menikmati lagu sembari menggerakkan badannya mengikuti tempo lagu.

Di sisi lain terlihat sekumpulan massa aksi yang membawa atribut-atribut Palestina. Lantaran agak lain, saya pun langsung menghampirinya. Ternyata mereka sedang menuyuarakan hak-hak saudara kita di negeri yang jauh. Jauh dari kedamaian.

Ada pula 3 orang pengamen yang berhasil mencuri perhatian saya. Berbeda dengan pengamen pada umumnya yang membawa alat musik seperti gitar dan okulele, grup pengamen ini membawa sebuah speaker yang kira-kira setinggi 80 cm.

BACA JUGA:  Musyawarah Pengurus Remaja Masjid Baburroyyan Griya Antang Harapan

Speaker itu mereka dorong menggunakan sebuah gerobak. Di antara mereka yang 3 orang itu, ada yang mendorong gerobak. Ada yang memegang kaleng untuk menyimpan saweran. Seorang yang lain memegang sebuah mic. Sepertinya dia yang menjadi biduan.

Dengan bersama-sama mereka bekeliling keramaian CFD pada saat itu. Ternyata penyanyi dari ‘band’ jalanan itu adalah seseorang yang memiliki keterbatasan dalam penglihatannya. Di balik keterbatasannya terdapat bakat yakni sebuah suara emas.

br
br