Oleh : Irfawandi Samad, S.Pd., M.Pd.
(Dosen Pendidikan Matematika FKIP Universitas Assyariah Mandar Sulawesi Barat)
NusantaraInsight, Makassar — Di tengah hiruk-pikuk stigma bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit dan menakutkan, sesungguhnya tersembunyi sebuah keindahan yang jarang disadari, kebahagiaan. Matematika bukan sebatas deretan angka dan rumus yang kaku, melainkan ruang bermain bagi logika, kreativitas, dan perasaan bangga ketika sebuah teka-teki berhasil dipecahkan. Saya menemukan dan menyaksikan hal ini langsung ketika mengajar di Kampus Lorong K-apel, bersama anak-anak lorong Daeng Jakking Sabtu, 24 Mei 2025.
Di sana, di tengah lorong-lorong kehidupan, saya bertemu dengan anak-anak yang menyambut matematika bukan dengan ketakutan, tetapi dengan rasa ingin tahu. Mereka belajar penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian bukan sebagai beban, melainkan sebagai petualangan. Ketika mereka berhasil memahami cara kerja operasi hitung dasar, terlihat pancaran bangga di mata mereka. Setiap jawaban benar adalah kemenangan kecil yang membesarkan hati mereka, dan saya pun belajar satu hal penting bahwa matematika bisa jadi sumber kebahagiaan.
Belajar tidak harus kaku dan membosankan. Di Kampus Lorong K-apel, kegiatan belajar yang rutin setiap Jum’at, Sabtu dan Minggu kolaborasi Komunitas Anak Pelangi (K-apel) dan Aruna Ikatuo Indonesia. Mata pelajaran matematika hadir dalam bentuk permainan, alat peraga sederhana, dan kerja kelompok yang hangat. Suasana kelas yang tidak berdinding kubus yang hidup dan penuh tawa membuat anak-anak lebih mudah menyerap konsep-konsep dasar. Mereka belajar sambil bermain, sambil tertawa, sambil saling membantu. Inilah wajah matematika yang manusiawi yang memanusiakan proses belajar itu sendiri.
Kebahagiaan dalam belajar matematika ternyata sangat sederhana, berasal dari keberhasilan-keberhasilan kecil. Ketika seorang siswa menemukan cara paling cepat menjawab soal, atau ketika mereka bisa menjelaskan caranya kepada teman lain, tumbuhlah rasa percaya diri dan motivasi dalam diri mereka. Dari situlah lahir hubungan yang sehat antara pelajar dan pelajaran tanpa tekanan, tanpa trauma, hanya semangat dan rasa ingin tahu yang terus tumbuh.
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa matematika bukan hanya tentang otak, tetapi juga tentang hati. Ia bukan hanya tentang logika, tapi juga tentang rasa. Ia bukan sekadar angka, tapi juga cerita tentang semangat, perjuangan, dan kegembiraan. Maka, mari kita ubah cara pandang kita. Mari hadirkan matematika sebagai teman bermain yang menyenangkan, bukan sebagai momok yang menakutkan.