Oleh Aslam Katutu
NusantaraInsight, Makassar — Teringat tahun 1983, masih di bangku kelas tiga SMP kala itu, dengan tulisan yang sederhana saya beruntung menjadi Juara Lomba menulis tentang Kartini yang dilaksanakan oleh sebuah Bank Swasta di Makassar.
Hanya bermodalkan buku kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang” dan sebuah mesin ketik tua. Kubuat tulisan tentang memaknai semangat Kartini. Mungkin dewan juri menangkap pesan tersirat yang menarik dari tulisan saya yang banyak menyoroti tergerusnya semangat Kartini yang dialami kaum Remaji (istilah bagi remaja wanita), hingga saya berhasil membopong hadiah tabungan Seratus Ribu Rupiah dan begitu banyak bingkisan-bingkisan menarik lainnya, yang terpaksa kubawa dengan naik becak pulang ke rumah.
Hehehe….senang dan geli ingat masa itu.
Tapi kini, zaman sudah berubah jauh. Kalau zaman Kartini tahun 1900an, ketika dia menulis tentunya masih menggunakan tulisan tangannya yang indah.
Di zaman saya sekolah saya masih menggunakan mesin ketik, dan anak zaman sekarang serba digital sudah lebih muda lagi dengan menggunakan Camputer, Laptop, tablet bahkan handphone androidnya.
Pertanyaannya, apakah semangatnya masih sama dengan semangat Kartini? Dimana Kartini gigih memperjuangkan diskriminasi antara kaum bangsawan dengan rakyat miskin, warna kulit, dan adanya ketidaksetaraan pendidikan yang bersifat obyektif, yakni pendidikan hanya diberikan kepada masyarakat Belanda dan pribumi keturunan Bangsawan, itu pun tetap dibatasi. R. A Kartini melakukan revolusi keadaan bumi pertiwi saat itu dengan banyak belajar, menulis, dan membuka suaranya, guna rakyat bisa terpenuhi haknya.
Ia melakukan hal ini di saat pendidikan sekolahnya terpaksa berhenti karena terpaku dengan adat istiadat. Namun hal ini sama sekali tidak mematahkan semangatnya, dan ia tetap terus belajar secara otodidak, menulis artikel, mengajar para perempuan lainnya untuk membaca dan menulis, hingga melakukan korespondensi dengan sahabat penanya di Belanda. Ia menceritakan kondisi di tempat tinggalnya sekaligus cita-citanya untuk membangun sekolah khusus wanita.
Kini, semangat dan perjuangan Kartini bisa kita nikmati. “Habis Gelap Terbitlah Terang”, kira-kira seperti itu gambarannya. Wanita mendapatkan hak emansipasinya bisa berkarya dan berprestasi seperti kaum lelaki juga.
Bukan sekadar perayaan memperingati hari kartini setiap tanggal 21 April. Mungkin dengan memakai batik atau kebaya untuk merayakannya. Lebih dari itu, menjadi Kartini Zaman Sekarang. Memaknai hati Kartini adalah dengan menjadi Kartini di zaman kita sendiri: berpikir kritis, peduli sesama, dan berani berkontribusi untuk perubahan positif, di rumah, di sekolah, di tempat kerja, atau di ruang publik.