Catatan Sastra: Kearifan Lokal di Tengah Arus Perubahan

Catatan Sastra
Kearifan Lokal di Tengah Arus Perubahan

Oleh: Agus K Saputra (Penyair)

NusantaraInsight, Mataram — Pertengahan April lalu, ada “gawe kecil” yang tersaji di Sanggar Tari Taman Budaya Prov.  Nusa Tenggara Barat. Yaitu Ngopi Buku Pertemuan Kecil karya Agus K Saputra. Sebuah kumpulan puisi ke tujuh, yang terinspirasi dari karya lukis dan foto. Kegiatan di Sanggar Tari tersebut disambut baik oleh Kepala Taman Budaya Prov. NTB, Sabaruddin, sebagai upaya untuk terus memfungsikan Taman Budaya dalam proses berkesenian.

Hadirnya beberapa perupa beserta lukisannya, pemusik yang mengalihwahanakan puisi, seni gerak dan penikmat sastra menambah nilai plus kegiatan. Boleh jadi ini kita kenal sebagai “perfomance art” : salah satu jenis multidisipliner yang menggabungkan berbagai bidang seni diantaranya senirupa, musik, seni gerak, sastra, dan teater.

Bukan itu saja, nilai tambah kegiatan ini, ternyata adalah tersajinya nilai kolektif dan kolaboratif. Nilai-nilai yang disinyalir mulai luntur di tengah arus perubahan, malam itu menjadi terbantahkan. Dan ini memang harus dirawat, selain oleh para seniman, pun pemerintah sebagai motor penggeraknya.

BACA JUGA:  Lelaki Tak Berpenghuni

Beberapa catatan dari Ngopi Buku “Pertemuan Kecil” adalah pertama, puisi memperluas makna. Hal ini disampaikan oleh Kongso Sukoco, penulis, jurnalis dan pegiat teater, ketika mengamati puisi berjudul “The Last Pepadu”. Karena sumbernya berasal dari olah raga rakyat yang sangat populer di Lombok yaitu Peresean. Olehnya, perupa setempat (Lalu Syaukani) mencoba mengabadikan permainan olahraga tradisional itu. Tentu saja lukisan itu tak menyampaikan pengertian verbal. Tapi mungkin puisi bisa memperluas pemaknaan.”

‘…hingga darah menetes//memercik tempat berpijak//menyambut hujan tiba..

Agus — penulis puisi– menangkap makna lukisan berjudul ‘The Last Pepadu’. Ini hanya salah satu contoh, bagaimana transformasi seni rupa ke medium bahasa memungkinkan perluasan pengertian hasil pengamatan visual. Dan bisa jadi tidak sekedar itu, tapi juga memungkinkan hadirnya pengalaman estetik yang otonom.

Dalam contoh ini, lanjut Kongso, puisi salah satunya bisa mengambil peran memperluas pengertian kenapa harus diadakan ritus peresean. Ia mungkin hendak menjelaskan mitos tentang berlalunya musim kemarau di Lombok, tetesan darah merupakan simbol harapan kesuburan. Darah yang memercik dari pepadu yang berlaga, bagian dari harapan turunnya hujan menggantikan kemarau.

BACA JUGA:  Dari Aku yang Hampir Menyerah

“Inilah yang saya maksud bahwa kreativitas membuat kita berpikir orisinal. Membuat solusi-solusi baru. Punya perspektif baru. Sesuatu yang mesti harus dihidupkan dan jangan menjadi umum, “ ujar Kongso.