Ini, dari Lakon ke Lakon (2): (Perjalanan R. Eko Wahono Bersama Teater Lho Indonesia)

Argumentasi utama lakon adalah pertanyaan etis: apakah seniman menjadi subjek yang diikutsertakan dalam perencanaan kebudayaan, atau sekadar objek yang dipakaikan estetika acara? Eko menuntut pengakuan: dana harus berpihak pada keberlangsungan praktik artistik—pelatihan, ruang kerja, strategi publik—bukan sekadar konsumsi simbolik.

Parodi dalam panggunglah yang mengekspos perilaku absurd: pejabat berpidato panjang sementara seniman berkumpul hanya untuk foto bersama.

Reportoar Anjing berfungsi sebagai intelijen moral untuk komunitas seni lokal. Ia memicu diskusi panjang tentang transparansi, partisipasi, dan tata kelola kebudayaan. Lebih jauh, lakon ini menempatkan Teater Lho sebagai suara kritis yang tak takut mengecam struktur yang memberi mereka “kado” tapi mengambil martabat seni.

Pementasan ini adalah contoh bagaimana teater lokal dapat berfungsi sebagai pengawal kebijakan—bukan lewat kecaman spektakuler, melainkan lewat sindiran tajam yang membuat publik berpikir.

VIII. Orang Asing (2013)

(Karya: Rupert Brooke — Sutradara: R. Eko Wahono — Dipentaskan di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya NTB)

Orang Asing karya Rupert Brooke membawa isu keterasingan dan banalitas eksistensial ke ranah rumah tangga. Eko menerjemahkan dan menempatkan naskah itu dalam konteks masyarakat kecil: keluarga miskin tiga orang—Bapak, Ibu, dan Sinah—yang hidup dalam rutinitas dan rapuhnya moral akibat kemiskinan. Keberhasilan adaptasi terletak pada penyesuaian nuansa: dari narasi universal menjadi wajah lokal yang lebih peka terhadap kondisi sosio-ekonomi.

BACA JUGA:  MENANTI TAJI PEMERINTAH BASMI PORNOGRAFI

Narasi berputar ketika seorang Orang Asing datang membawa koper berisi uang dan dokumen—objek yang memicu dinamika psikologis. Kecurigaan berubah menjadi rencana pembunuhan: tindakan ekstrem yang, dalam konteks lakon, berubah menjadi indikator bagaimana nilai kemanusiaan telah terkikis oleh kelaparan, ketakutan, dan nafsu purba.

Eko membingkai setiap adegan seperti studi kasus: bagaimana kondisi ekonomi membuat keluarga merasionalisasi tindakan yang dalam konteks moral seharusnya terlarang. Penonton dihadapkan pada paradoks: orang membunuh demi mempertahankan hidup, dan kekerasan menjadi perubahan kebiasaan. Teknik dramaturgi menekankan jeda, repetisi, dan intensitas gestural untuk menegaskan keheningan moral.

Berbeda dengan pementasan yang menonjolkan simbol audial atau visual yang besar, Eko memilih pendekatan mikro: jeda panjang, bahasa tubuh yang minimal, dan tatapan yang menjadi pusat ekspresi. Keputusan estetis ini sesuai dengan tema banalitas: tindakan-tindakan brutal dalam pementasan bukan dilukiskan dengan teatralitas tinggi, melainkan sebagai rutinitas yang dingin dan biasa.

br