Ini, dari Lakon ke Lakon (2): (Perjalanan R. Eko Wahono Bersama Teater Lho Indonesia)

Perlawanan tak berakhir dengan revolusi, melainkan dengan pengakuan: pengakuan bahwa sistem tak mudah diubah, namun ada ruang kecil untuk mempertahankan kemanusiaan—melalui ritual kecil, perlawanan lemah, atau ingatan tentang keluarga.

Arsitektur Kata memberi kritik halus: kemajuan yang diklaim oleh kota dan korporasi tak selalu berkontribusi pada kesejahteraan keluarga. Pementasan menantang penonton (terutama warga urban) untuk mengevaluasi apa yang mereka serahkan demi janji masa depan.

Bagi Teater Lho, karya ini adalah jembatan antara pengalaman lokal dan problem global: kota bukan hanya latar, tetapi sumber estetika dan masalah yang harus dipahami.

VII. Reportoar Anjing (2013)

(Naskah & Sutradara: R. Eko Wahono — Dipentaskan pada Gebyar Budaya NTB oleh Taman Budaya NTB – 16 November 2013, 21.30 WITA)

Reportoar Anjing lahir sebagai reaksi konkret terhadap fenomena budaya lokal: penyaluran dana dekonsentrasi sebesar Rp 2 miliar untuk seni pertunjukan di NTB. Alih-alih menjadi wahana pemberdayaan, alokasi tersebut, menurut Eko, memperlihatkan proses top-down yang mereduksi seniman menjadi objek seremoni.

BACA JUGA:  IBUNDA MATI MUDA

Lakon menjadi kritik tajam terhadap praktik birokrasi yang mengklaim mendukung seni namun menyediakan ruang partisipasi yang sangat sempit.

Fenomena ini penting karena membuka pertanyaan: Siapa yang memformulasikan kebijakan kebudayaan? Bagaimana dampaknya pada ekosistem seni lokal? Eko menolak retorika kado dan pesta—yang menurutnya bisa meninabobokan seniman agar tidak kritis terhadap struktur distribusi dana.

Judul lakon memakai metafora provokatif: anjing sebagai simbol. Anjing memiliki dua citra: setia namun tunduk; rakus namun bisa dipelihara. Eko menempatkan metafora ini pada posisi moral: pejabat birokrasi memancing seniman seperti memberi tulang—menunggu gonggongan rasa syukur, bukan tanggapan kritis.

Dalam lakon, “anjing” berperan sebagai agen yang memperlihatkan reaksi beragam: ada seniman yang menolak; ada yang ikut berpesta; ada yang menari dalam keserakahan. Dengan bahasa panggung yang satir, Eko mengekspos ketidakadilan struktural dan kelengahan kolektif.

Pementasan memadukan unsur kabaret-satir dengan teater tubuh. Adegan pembukaan memperlihatkan meja resepsi, protokol, dan penyerahan amplop: ritual yang diputar seperti sketsa komedi. Namun kelucuan segera beralih menjadi rasa getir ketika amplop dibuka: kado kosong, atau kertas tanpa tujuan artistik.

BACA JUGA:  Kekerasan Seksual Pada Anak, Sampai Kapan Berakhir?

Eko memakai teknik kontras: musik riuh, sorak, lalu jeda hening ketika realitas dibuka. Panggung dipasang sedemikian rupa sehingga penonton merasakan ketidaknyamanan—mereka menjadi saksi dari sebuah proses yang tampak absurd namun familiar.

br