Ini, dari Lakon ke Lakon (2): (Perjalanan R. Eko Wahono Bersama Teater Lho Indonesia)

Secara jangka panjang, karya ini menjadi contoh bagaimana komunitas teater daerah dapat bersuara dalam isu global (lingkungan) lewat bahasa lokal—menggabungkan estetika kontemporer dengan kearifan setempat.

VI. Arsitektur Kata (2012)

(Karya & Sutradara: R. Eko Wahono — Gedung Remaja Bulungan, Jakarta Selatan — 27 November 2012)

Arsitektur Kata diletakkan pada simpul penting: urbanisasi dan alienasi kerja. Pementasan ini muncul di Jakarta, kota yang merupakan contoh percepatan ritme modern. Eko membawa pengalaman lokal NTB ke panggung kota besar, namun cerita tetap bersifat personal: tokoh “Aku” melambangkan pekerja yang terseret oleh mesin ekonomi, yang kerja kerasnya hanya mengisi pundi perusahaan, bukan menjamin kesejahteraan keluarga.

Tema ini relevan secara luas: desa–kota sebagai jembatan perubahan, ketika penduduk desa menjadi mesin dalam ekosistem urban yang menuntut kecepatan, akurasi, dan kepatuhan.

Dramatisasi berpusat pada tokoh “Aku” yang ingin naik kelas sosial tapi justru kehilangan jiwa. Monolog menjadi teknik utama—bahasa puitik yang kadang retoris, kadang sarkastik—mengupas kontradiksi antara ambisi pribadi dan realitas struktur ekonomi. Perlawanan yang ditawarkan tokoh bukanlah aksi heroik melainkan kesadaran tragis: ia menyadari bahwa untuk menjadi pemain utama sistem, ia harus menyerahkan kemerdekaannya.

BACA JUGA:  Saya Memulai Karier di Radio dengan Rp50

Eko menampilkan tokoh ini dengan estetika minimalis: set kantor, meja, alat tulis, serta proyeksi kata-kata sebagai arsitektur literal di panggung. Kata-kata (sebagai elemen visual) memang sengaja dipilih sebagai modul: “arsitektur kata” menandakan bagaimana bahasa organisasi membangun dan mengekang individu.

Dalam pementasan ini Eko memanfaatkan teknologi panggung (proyeksi, suara terintegrasi) untuk merepresentasikan ritme kerja. Proyeksi kata berfungsi dua arah: saat menjadi peta, ia memudarkan; saat menjadi instruksi, ia menindas.

Tata cahaya menekankan kesepian: neon putih, kilap biru dingin, dan bayangan yang panjang. Ruang kantor menjadi ruang ritual modern—mesin pabrik yang tak terbatas.

Penggunaan proyeksi juga memperkuat gagasan bahwa kita hidup dikelilingi representasi: KPI, target, laporan—semua adalah kata yang merakit perilaku.

Lakon ini menimbang konflik pada dua level: internal (krisis identitas Tokoh “Aku”) dan eksternal (tekanan perusahaan, keluarga yang menunggu). Eko menempatkan adegan tanpa dialog panjang sebagai puncak: momen ketika Tokoh “Aku” mengulangi gerak yang sama seperti robot—sebuah koreografi kerja yang memupus spontanitas.

br